Sukses

Pemanasan Global Ancam Olimpiade Musim Dingin Tahun Mendatang

Olimpiade Musim Dingin terancam dengan semakin memburuknya pemanasan global akhir-akhir ini. Bagaimana penjelasan ilmiahnya?

Liputan6.com, Seoul - Olimpiade Musim Dingin 2018 dibuka pada hari ini, Jumat (9/2/2018), di Pyeongchang, Korea Selatan.

Segala persiapan ditinjau, seperti kondisi cuaca, suhu, dan hari saat turunnya salju. Pasalnya, musim dingin kali ini bisa berdampak serius pada kualitas pergelaran olahraga bergengsi tersebut, sebab dipengaruhi oleh semakin buruknya pemanasan global.

Misalnya, saat Olimpiade Musim Dingin 2010 di Vancouver, Kanada. Tahun itu, salju mencair dengan sangat cepat sebelum Olimpiade dimulai. Empat tahun kemudian, yaitu 2014, ketika Sochi menjadi tuan rumah, suhu di kota di Rusia itu mencapai 20 derajat Celcius.

Saat temperatur di Pyeongchang diperkirakan akan sangat dingin sewaktu upacara pembukaan, muncul data yang menunjukkan adanya peningkatan suhu terkait Olimpiade Musim Dingin mendatang.

Tren pemanasan global sejak 1924, ketika Olimpiade Musim Dingin pertama diadakan, menunjukkan bahwa bulan Februari telah menghangat 1,01 derajat Celcius di seluruh dunia.

Menurut laporan Climate Central, hanya enam dari 19 kota -- yang menjadi tuan rumah Olimpiade -- yang secara klimatis dapat diandalkan untuk menyelenggarakan Olimpiade pada akhir abad ini.

Sedangkan kota-kota yang pernah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Dingin akan menghangat 2,1 derajat pada tahun 2050-an dan 4,4 derajat Celcius pada tahun 2080-an.

Selain itu, luas cakupan salju di belahan Bumi utara akan berkurang dan gletser pun mulai mengalir. Fenomena alam ini tak hanya buruk bagi perekonomian berbasis musim dingin, tapi juga acara-acara olahraga yang mengandalkan salju. 

Di Amerika Serikat, beberapa ajang olahraga ski akan dikurangi 50 persen pada tahun 2050 dan 80 persen pada tahun 2090. Ini akan berdampak terhadap pemain ski profesional.

Dikutip dari Al Jazeera, Jumat (9/2/2018), olahraga musim dingin menyumbang kas negara Amerika Serikat sebesar US$ 72 miliar dalam setahun dan membuka hampir 700.000 lapangan pekerjaan.

Di tengah ancaman pemanasan global, sejumlah resor ski di seluruh dunia telah berinvestasi untuk mengurangi dan meminimalkan kontribusinya terhadap perubahan iklim. Caranya, yakni dengan mengurangi limbah dan menerapkan energi terbarukan.

2 dari 2 halaman

Pemanasan Global: Suhu Bumi Meningkat dalam 3 Tahun Terakhir

Menurut data yang dilansir oleh Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional (NOAA) Amerika Serikat (AS), tahun 2017 adalah tahun terpanas ketiga setelah 2016 dan 2015.

Dikutip dari laman The Verge, kecenderungan suhu Bumi dalam jangka panjang meningkat 1,1 derajat Celcius dalam tiga tahun terakhir, beberapa tingkat lebih tinggi dari suhu sebelum terjadinya Revolusi Industri pada Abad ke-18.

Pernyataan NOAA tersebut sedikit berbeda dengan laporan yang dikeluarkan oleh NASA, yakni rata-rata peningkatan suhu Bumi tercatat meningkat sebanyak 0,90 derajat Celcius. Meski kedua lembaga sama-sama menyimpulkan satu hal: Bumi makin panas. 

Kenaikan suhu Bumi, menurut NASA, berdampak pada terjadinya beragam anomali cuaca di banyak tempat d penjuru dunia, termasuk paling terakhir adalah badai bom siklon yang melanda kawasan pantai timur AS.

NASA mengatakan lewat Twitter, tahun 2017 merupakan tahun terpanas kedua di Bumi, "melanjutkan tren pemanasan ke-17 dari 18 tahun terpanas dalam satu dekade sejak tahun 2001".

Meski sedikit berbeda, baik NASA maupun NOAA punya kesimpulan yang sama bahwa tren pemanasan global terus terjadi setelah tahun 2010.

Dalam satu abad terakhir, tercatat kenaikan suhu Bumi rata-rata lebih dari 1 derajat Celcius. Kenaikan ini utamanya disebabkan oleh tidak terkendalinya emisi karbon dioksida dan gas buang lainnya, hasil aktivitas manusia yang merusak atmosfer.

Tren pemanasan global paling terlihat dampaknya di kawasan Arktik atau Kutub Utara, yang selama satu dasawarsa terakhir kerap dilaporkan kehilangan cukup banyak volume es setiap tahunnya.

Begitu pun juga kawasan Antartika di belahan bumi selatan, yang meskipun mengalami pencairan es lebih sedikit, tetap dianggap mengkhawatirkan, khususnya terkait dampaknya pada kenaikan permukaan laut.