Liputan6.com, Jenewa - Komisioner Tinggi PBB untuk urusan Pengungsi, Filippo Grandi mengatakan bahwa Myanmar belum mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan aman bagi kembalinya (repatriasi) 688 ribu orang etnis Rohingya yang melarikan diri dari tindakan keras militer enam bulan lalu. Hal itu diutarakan Grandi pada Senin 12 Februari 2018.
"Tegasnya begini, kondisi untuk repatriasi pengungsi Rohingya secara sukarela ini masih belum kondusif," ujar Grandi yang berbicara melalui video-konferensi dalam pertemuan dewan itu, seperti dikutip dari VOA (14/2/2018).
"Hal yang menyebabkan mereka mengungsi belum diatasi, dan kami masih belum melihat kemajuan substantif dalam penanganan isu pengecualian dan penyangkalan hak-hak warga Muslim-Rohingya yang telah berlangsung puluhan tahunan, yang mengakar pada masalah kewarganegaraan mereka," tambahnya.
Advertisement
Baca Juga
Myanmar menganggap warga Rohingya sebagai imigran dari Bangladesh dan menolak memberikan kewarganegaraan, meskipun etnis ini telah berada di Myanmar selama beberapa generasi.
Sebuah panel penasihat yang dipimpin mantan sekjen PBB Kofi Annan telah menyerukan kepada Myanmar untuk memberikan kewarganegaraan kepada warga Muslim-Rohingya dan mengizinkan mereka kembali.
PBB telah menuduh pasukan Myanmar mengusir warga Muslim Rohingya dalam sebuah kampanye pembersihan etnis.
China, pendukung junta militer yang pernah menguasai Myanmar Myanmar, meminta semua pihak bersabar dan mengatakan "stabilitas dan ketertiban" telah diupayakan ke negara bagian Rakhine.
"Krisis Muslim Rohingya tidak bisa diselesaikan dalam satu malam," ujar Duta Besar China Ma Zhaoxu.
Ditambahkannya, langkah-langkah seharusnya diadopsi oleh Myanmar terkait krisis kemanusiaan Rohingya adalah "untuk mengatasi akar masalah kemiskinan lewat pembangunan di negara bagian Rakhine."
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Myanmar Belum Siap Terima Kepulangan Pengungsi Rohingya?
Myanmar telah mendirikan sejumlah konstruksi bangunan di wilayahnya yang berbatasan dengan Bangladesh, sebuah petunjuk yang mengisyaratkan negara itu siap menerima kepulangan para Muslim Rohingya yang selama ini mengungsi ke Bangladesh.
Meski demikian, hingga Rabu, 24 Januari 2018, belum ada petunjuk kepulangan -- yang direncanakan bertahap -- hampir 700 ribu Rohingya. Demikian seperti dikutip dari VOA News, 25 Januari 2018.
Myanmar bahkan mengundang wartawan dari Associated Press dan sejumlah media lain ke perbatasan itu untuk menunjukkan persiapan mereka.
Namun di sisi lain, Bangladesh menyatakan, masih perlu lebih banyak waktu untuk menyiapkan pemulangan para pengungsi tersebut.
Sementara itu, para pengungsi Rohingya umumnya ragu, dan bahkan khawatir, mengenai rencana kepulangan mereka ke kampung halaman setelah menyaksikan sendiri rumah mereka dibakar; istri, saudara perempuan dan ibu mereka diperkosa, serta kerabat dan tetangga mereka dibantai.
Sejumlah pengungsi mengatakan, mereka tidak melihat adanya persiapan besar dari pihak Myanmar untuk menyambut kepulangan mereka ke negara bagian Rakhine dengan aman dan selamat. Organisasi Nasional Arakan Rohingya menyatakan, para pengungsi tidak akan pulang kecuali pemerintah Myanmar telah memenuhi janji mereka.
Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repratiasi Rohingya yang akan berlangsung selama dua tahun dan dimulai Selasa 23 Januari 2018. Namun para pejabat di Bangladesh mengatakan sejumlah masalah masih belum terpecahkan.
Advertisement
LSM: Seharusnya Ditunda Lebih Lama, hingga Situasi Memungkinkan
Lembaga aktivisme dan advokasi HAM Fortify Rights yang berbasis di Amerika Serikat menyambut baik keputusan Bangladesh yang menunda proses repatriasi Rohingya ke Myanmar. Namun, mereka merasa, alasan di balik penundaan proses repatriasi itu keliru.
"Otoritas Bangladesh menunda proses raptriasi karena alasan logistik semata. Namun, penundaan itu dilakukan bukan karena masih adanya pelanggaran HAM dan potensi kekerasan (terhadap Rohingya) di Rakhine," kata Matthew Smith dari Fortify Rights.
Fortify Rights menyatakan -- sekaligus sangat menyarankan -- agar penundaan itu dapat diperpanjang hingga situasi di Rakhine benar-benar aman bagi Rohingya dan hak etnis minoritas tersebut dapat benar-benar dijamin oleh Myanmar.
Lembaga aktivisme HAM itu juga mendesak agar Myanmar segera memberikan perbaikan terhadap kampung-kampung Rohingya yang rusak akibat rangkaian kekerasan dan konflik yang terjadi di Rakhine pada pertengahan tahun 2017 silam, sebelum proses repatriasi terjadi.
"Desa-desa mereka sebagian besar telah dihancurkan, beberapa ratus desa bahkan dikabarkan telah dibakar sepanjang tahun 2017 ini," tambah Smith.
"Jadi jika mereka dipulangkan sekarang, sejatinya mereka kembali ke tumpukan abu bekas desa mereka yang telah dibakar dan dibuldozer," paparnya.
Para pejabat Myanmar bersikeras telah menyediakan kamp penampungan sementara di Rakhine khusus untuk etnis Rohingya yang desa dan rumahnya masih belum layak huni.
Namun, rekaman video yang diambil oleh jurnalis lokal menunjukkan bukti sebaliknya, dimana kamp-kamp penampungan sementara itu pun belum sepenuhnya siap, atau bahkan belum didirikan sama sekali oleh Myanmar.
Rekaman video itu menunjukkan lapangan berdebu yang besar dengan segelintir surveyor dan penggali, beberapa tenda putih besar untuk pekerja -- namun tanpa adanya akomodasi, toilet, air minum atau infrastruktur perawatan kesehatan lainnya.
Smith bahkan mengatakan, solusi untuk mendirikan kamp penampungan semacam itu justru hanya menebalkan isu seputar Rohingya -- yang serupa seperti sistem apartheid.
Badan pengungsi PBB (UNHCR) menekankan bahwa Rohingya seharusnya kembali ke Myanmar secara sukarela, dan hanya jika hak dan keamanan dasar mereka dapat dilindungi.
Ketika rencana repatriasi diumumkan pada bulan November 2017, sebuah survei menemukan, 89 persen orang Rohingya tidak mau kembali.
Seorang perempuan Rohingya di kamp pengungsian Bangladesh berkata, "Anda bisa melempar kami ke laut, tapi tolong jangan mengirim kami kembali ... kami tidak akan kembali ke Myanmar."