Liputan6.com, Jakarta - Pada akhir 1890-an dan awal 1900-an, St. Pierre, Martinique dikenal sebagai 'Paris of the West Indies'. Kota tersebut terkenal dengan pemandangan yang indah, dengan pondok-pondok berubin merah, tanaman tropis yang eksotis, dan jalanan yang menawan dengan pemandangan gunung yang menjulang.
Penduduknya mencapai 30 ribu orang. Meski mayoritasnya adalah penduduk asli, namun, strata sosial tertinggi ditempati orang-orang Kreol dan pejabat Pemerintah Prancis.
Baca Juga
Hidup berdampingan dengan Gunung Pelée membuat warga terbiasa dengan aktivitas vulkaniknya. Tak ada yang menganggap serius ketika 'gunung botak' itu mengeluarkan asap dari puncaknya pada April 1902.
Advertisement
Namun, entah mengapa, kabel telegraf bawah laut yang menghubungkan Martinique ke Dominika pecah, danau muncul tiba-tiba di kaldera. Hal-hal misterius itu sejatinya adalah pertanda.
Pada 2 Mei 1902 malam, erupsi kecil menarik perhatian warga. Saksi mata mengatakan, puncak Gunung Pelée seakan terbakar, memuntahkan batu berpijar yang menerangi malam.
Pagi berikutnya, penduduk menemukan burung-burung terhempas abu. Kapten kapal uap menyaksikan lautan dipenuhi bangkai ikan, kemungkinan mati akibat gelombang kejut gempa bawah laut.
Hujan abu kian lebat. Aroma belerang yang menyengat memenuhi atmosfer. Rumah-rumah di lereng gunung rusak dan tak lagi layak dihuni.
Kemudian, hewan-hewan menginvasi kota.
Seperti dikutip The Guardian, Jumat (16/2/2018), yang pertama muncul adalah gelombang semut kuning dan lipan hitam yang besar. Ribuan hewan itu menyusuri lereng Gunung Pelée yang ditutupi oleh semak belukar, menginvasi jalan-jalan, menyerang para pekerja di ladang tebu.
Kemudian giliran ular-ular yang eksodus. Jumlahnya ratusan, termasuk ular beludak mematikan, menuruni lereng gunung menuju area pedesaan.
Diperkirakan 50 manusia tewas, mayoritas anak-anak, dan 200 hewan mati akibat gigitan ular mematikan.
Kuda, babi, dan anjing bergerak liar, menjerit, saat merasakan sengatan semut merah dan lipan yang merayap di antara kaki-kaki mereka.
Pada Mei 1902, lumpur mendidih tumpah dari danau kawah Etang Sec ke Sungai Blanche. Akibatnya, 23 pekerja yang ada di pabrik penyulingan rum di muara sungai, tewas. Gelombang tsunami tiba-tiba muncul dan menewaskan ratusan orang.
Sementara itu, Gunung Pelée menuju titik gawat.
3 Menit Horor di 'Gerbang Neraka'
Keanehan alam dan kematian demi kematian yang terjadi bikin warga gelisah bukan kepalang. Mereka berniat lari ke Fort-de-France, kota kedua terpenting di Martinique. Namun, aparat mencegah mereka pergi. Alasannya, suara mereka dibutuhkan dalam pemilihan umum 11 Mei tahun itu.
Untuk meyakinkan warga, sebuah komite dibentuk. Tugas mereka, untuk menilai potensi bahaya Gunung Pelée. Namun, satu-satunya ilmuwan yang dilibatkan adalah seorang guru sains sekolah menengah.
"Keamanan St. Pierre terjamin," demikian kesimpulan komite yang dikirim ke Gubernur Louis Mouttet. Ternyata, mereka salah.
Pada 8 Mei 1902 sekitar pukul 08.00, Gunung Pelée erupsi dahsyat, mengirimkan kepulan raksasa awan panas yang meluncur turun dari kawah. Dengan kecepatan 100 mil/jam, awan panas menerjang St Pierre pada pukul 08.02.
Tiga menit kemudian, kota berjuluk 'Paris of the West Indies' tinggal puing. Sebanyak 30.000 penduduknya tewas akibat tercekik dan terbakar.
Hanya satu orang yang selamat. Namanya Auguste Ciparis. Dia adalah satu-satunya penghuni penjara bawah tanah kota itu.
"Api turun di atas St Pierre," kenang Charles Thompson, asisten pelaksana kapal uap Roraima yang ditambatkan di St Pierre. "Kota itu lenyap di depan mata kami."
Sementara, kapal lainnya, Rod ham sedang berlayar ke luar dari pelabuhan saat itu. Material vulkanik menghujani bagian dek, membunuh para awak kapalnya. Yang berhasil selamat dalam kondisi payah hingga sekarat.
Saat tiba di St Lucia, petugas pabean yang menyambut mereka terkejut bukan main. Mereka bertanya, dari mana datangnya kapal yang babak belur itu. Sang kapten menjawab, "dari gerbang neraka."
Advertisement
Pengingat Bahaya
Kehancuran St Pierre terjadi secara massif dan tiba-tiba. Ilmuwan kini tahu penyebabnya: nuée ardente atau awan bercahaya atau aliran piroklastik - campuran gas, uap, debu, abu dan batu apung yang bercahaya.
Apa yang terjadi pada St Pierre menjadi pengingat tentang bahaya gunung berapi.
"Ada lebih dari 3.000 gunung berapi di dunia, dan hanya sekitar 150 yang dipantau," kata Profesor Bill McGuire, seorang ahli vulkanologi di University College London, seperti dikutip dari The Guardian.
Dan meski erupsi bisa diprediksi dengan ilmu pengetahuan saat ini, "Kita tak bisa memaksa para politisi untuk bertindak dan mempersiapkan rencana evakuasi massal yang menelan biaya tinggi." Apa yang terjadi di St Pierre bahkan menunjukkan, kebijakan penguasa yang sama sekalitak bijak justru mengundang maut.
"Ada dua erupsi gunung berapi lain yang merenggut lebih banyak korban jiwa -- Krakatau pada 1883 yang menewaskan 36 ribu orang dan Tambora 1815 yang merenggut 92 ribu manusia,"kata McGuire dalam bukunya, A Guide to the End of the World (OUP).
Namun, baik Tambora maupun Krakatau, kematian terbesar disebaban efek sekundernya. "Sementara, letusan Gunung Pelée adalah penyebab langsung kematian korbannya."