Liputan6.com, Pyongyang - Pada masa kini, Korea Utara merupakan negara yang kerap menjadi kejutan dengan program rudal jarak jauh dan persenjataan nuklirnya. Ambisi mereka untuk membuat kedua hal itu, serta ancaman keamanan yang ditimbulkan bagi negara di kawasan sekitar, membuat masyarakat internasional khawatir jika Korut berpotensi mampu memicu Perang Dunia III.
Tapi ternyata, Korea Utara juga pernah benar-benar nyaris menyulut Perang Dunia III lewat sejumlah perisitiwa dan insiden yang terjadi pada 1960 - 1970-an. Demikian seperti dikutip dari The National Interest (19/2/2018).
Peristiwa macam apa saja?
Advertisement
Baca Juga
Pada musim semi 1969, sebuah speedboat berawak 15 pasukan khusus Korea Utara meluncur melalui Laut Kuning menuju Korea Selatan dalam sebuah misi rahasia.
Kapal itu seharusnya menjemput agen rahasia Korut yang beroperasi di Korea Selatan dan membawanya kembali ke Utara.
Kru kapal tiba di daratan Pulau Heuksan, Korsel pada tengah malam untuk menjemput agen yang dimaksud.
Tak menemukan apa yang mereka cari, kru kapal justru mendadak berhadapan dengan pasukan keamanan Korea Selatan yang telah menyiapkan serangan kejut di lokasi tersebut.
Baku tembak pun terjadi. Semua kru Korea Utara itu tewas dalam baku tembak itu. Dan secara keseluruhan, operasi penjemputan itu gagal total.
Kegagalan operasi itu bukan kebetulan. Intelijen Korea Selatan (KCIA) telah mempersiapkan "jebakan yang cermat" untuk merespons kapal Korea Utara itu.
Sebulan sebelumnya, KCIA telah menangkap agen Korut yang seharusnya dijemput tim tersebut dan mengubahnya menjadi agen ganda serta menggunakannya sebagai umpan.
Untung saja, peristiwa tegang itu tak berujung menjadi krisis internasional yang memanas, seperti misalnya Perang Dunia III.
Berkali-kali
Bukan sekali itu saja Korea Utara melakukan operasi gerilya senyap yang mampu memicu eskalasi tensi dan berujung pada Perang Dunia III
Sejak tahun 1966, agen intelijen rahasia Korea Utara beberapa kali melancarkan kampanye gerilya melawan Korea Selatan dalam upaya untuk menangkapi anggota militer Korea Selatan dan Amerika Serikat, serta memicu keresahan rakyat Negeri Ginseng di bawah kepemimpinan Presiden Park Chung-hee.
Namun seiring waktu, Korea Selatan telah lebih baik dalam mengidentifikasi dan menanggulangi agen rahasia Pyongyang.
Sisa tahun 1960-an terjadi lebih banyak lagi operasi spionase-gerilya yang dilakukan Korea Utara ke Selatan. Salah satunya adalah pengerahan Unit Angkatan Darat ke-124 Korea Utara untuk melakukan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Korea Selatan.
Pasukan berkomposisi serupa juga pernah menembaki sebuah pesawat mata-mata Angkatan Laut AS EC-121 yang terbang di Semenanjung Korea hingga jatuh di Laut Jepang -- menewaskan seluruh 31 kru AS di dalamnya.
Kendati demikian, memasuki 1970-an, semua operasi spionase-gerilya itu tak membuahkan hasil. Di sisi lain, seiring waktu, Korea Selatan justru tumbuh semakin siap untuk menghadapi segala bentuk ancaman personel gerilya Korea Utara -- seperti, meningkatkan kemitraan pertahanan dengan Amerika Serikat, mempelajari strategi kontra-infiltrasi, menambah pasukan keamanan nasional hingga mencapai 40.000 orang, dan mengoperasikan strategi patroli laut.
Akhirnya, hal tersebut memaksa Pemimpin Korea Utara saat itu, Kim Il-sung, memikirkan strategi lain.
Advertisement
Imbas Bagi Korea Utara
Pada tahun 1970 dokumen National Intelligence Estimate yang dirilis Badan Intelijen Pusat AS (CIA) memaparkan bahwa Korea Utara telah meninggalkan operasi spionase-gerilya berbasis militer untuk menyerang Korea Selatan.
Kim Il-sung, tahun itu, justru beralih strategi dengan melakukan spionase politik-propaganda ke Korea Selatan.
Perubahan strategi itu justru memicu pemecatan besar-besaran yang dilakukan oleh Kim Il-sung -- sepanjang tahun 1968 - 1969 -- terhadap para pejabat pemerintahannya yang bertanggung jawab dalam menggelar operasi spionase-gerilya militer.
Kim Il-sung dikabarkan memecat Yi Hyo-sun, Kepala Departemen Penghubung Partai Pekerja Korea Utara -- figur yang bertanggung jawab dalam operasi mata-mata Korut di Selatan.
Ia juga memecat Kementerian Pertahanan Korea Utara Kim Chang-pong dan Panglima Aangkatan Bersenjata Korea Utara Choe-kwang. Posisi mereka kemudian diisi oleh loyalis Kim Il-sung, seperti Choe-hyon dan Chin-u.
Berujung pada Konsolidasi Kekuasaan
Namun, apa yang tak disangka oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat adalah, perubahan strategi Korea Utara dan pemecatan sejumlah besar pejabat pemerintahan yang bertanggung-jawab atas operasi gerilya sebelumnya, berujung pada langkah Kim Il-sung mengkonsolidasikan kekuasaan guna memantapkan posisiya sebagai pemimpin.
Bahkan sejak berakhirnya Perang Korea, Kim Il-sung telah memecat siapa saja yang bisa menjadi ancaman bagi kepemimpinannya di negara ini. Pejabat Korea Utara yang dipandangnya terlalu dekat dengan China dan Uni Soviet masuk dalam daftar yang patutu diawasi menurut Kim Il-sung.
Menjelang akhir 1960-an, Kim mulai membidik sebuah faksi di dalam militer Korea Utara yang dijuluki "jendral partisan".
Kelompok tersebut terdiri dari veteran perlawanan terhadap Imperial Jepang selama Perang Dunia II -- pria seperti Kim Chang-pong dan Jenderal Choe Kwang yang telah bertempur bersama pemimpin Korea Utara pada masa lalu.
Seiring kampanye gerilyanya tampak semakin kacau, Kim mulai memecat beberapa jenderal partisan, kata Michael Madden, seorang pakar kepemimpinan Korea Utara dan seorang ilmuwan di US Korea Institute di Universitas Johns Hopkins, AS.
"Pemecatan itu juga merupakan bentuk konsolidasi Kim Il-sung untuk menyingkirkan posisi yang didukui oleh orang militer dan diisi kembali dengan sipil yang lebih loyal dan kapabel,"lanjut Madden.
Artikel asli tulisan ini dapat dilihat di sini.
Advertisement