Sukses

Tutupi Barang Bukti, Myanmar Diduga Membuldoser Kuburan Massal Rohingya

Beredar rekaman yang menunjukkan terpal setengah terkubur di tempat terbuka di hutan tempat suku Rohingya tinggal, dengan kaki yang membusuk terlihat menonjol dari salah satu tas terpal.

Liputan6.com, Rakhine - Kelompok hak asasi manusia (HAM) baru-baru ini menuding bahwa pemerintah Myanmar membuldoser sebuah kuburan massal Rohingya, demi menutupi barang bukti kekerasan yang dilakukan tentara.

Klaim kelompok HAM itu dilakukan usai investigasi yang dilakukan oleh kantor berita Amerika Serikat, Associated Press dan Inggris, Reuters. Kedua media itu menemukan bukti bahwa ditemukan kuburan masal lainnya.

Proyek investigasi oleh kelompok HAM itu dinamai Arakan Project. Demikian seperti dikutip dari The Guardian pada Selasa (20/2/2018).

Arakan Project, yang menggunakan jaringan di darat untuk mendokumentasikan pelanggaran terhadap komunitas Rohingya di negara bagian Rakhine bagian barat, Myanmar.

Dokumentasi berupa rekaman tersebut menunjukkan terpal setengah terkubur di tempat terbuka di hutan, dengan kaki yang membusuk terlihat menonjol dari salah satu tas terpal.

Chris Lewa, direktur Proyek Arakan, mengatakan buldoser tersebut tampaknya merupakan bagian dari upaya untuk menyembunyikan bukti kuburan secara permanen menyusul pemberitaan yang muncul di media cetak.

"Dua dari kuburan massal yang kami ketahui telah muncul di media, tapi pada hari Kamis salah satu situs kuburan massal lainnya dibuldoser. Ini berarti bukti pembunuhan tersebut sedang dihancurkan," kata Lewa.

"Perusahaan swasta melakukan perataan tanah dengan buldoser. Mereka berasal dari Myanmar tengah, bukan Rakhine. Sudah jelas ini terjadi di bawah perintah pemerintah," ucapnya lagi.

Situs kuburan massal yang dilaporkan, di Maung Nu, Kota Buthidaung, di negara bagian Rakhine utara, merupakan lokasi pembantaian Rohingya yang dilaporkan oleh kelompok hak asasi manusia pada Agustus tahun 2017 lalu.

Foto diambil pada 8 Februari 2018 memperlihatkan sebuah desa Rohingya hancur dan rata (HANDOUT / AFP)

Human Rights Watch mengatakan bahwa korban selamat telah mengatakan, tentara telah "memukuli, melakukan pelecehan seksual, menikam dan menembaki penduduk desa."

Puluhan orang Rohingya dilaporkan terbunuh. Citra satelit yang diperoleh Human Rights Watch menunjukkan bahwa Maung Nu telah diratakan setelah pembantaian itu.

Sebuah misi pencari fakta PBB telah ditolak aksesnya ke Myanmar, sementara pelapor khusus PBB mengenai hak asasi manusia telah dilarang memasuki negara tersebut.

"Kami telah mendengar tentang tuduhan penghancuran (barang bukti) di Maung Nu, dan kami khawatir bahwa ini bisa menjadi bagian dari usaha yang lebih luas untuk menyembunyikan kekejaman yang dilakukan oleh pasukan keamanan Burma," Phil Robertson, wakil direktur Human Rights Watch di Asia, mengatakan kepada Guardian.

Sementara itu, kantor berita Prancis AFP melaporkan, bagian lain dari negara Rakhine tampaknya telah dibuldoser. Media tersebut menunjukkan foto udara yang memperlihatkan bekas desa Rohingya yang benar-benar sudah rata dengan tanah.

Usaha buldoser tersebut tampaknya menargetkan desa-desa di mana terjadi penahanan militer tahun lalu, kata laporan tersebut.

"Buldoser menghancurkan bukan hanya sebagian dari beberapa desa yang terbakar, tapi juga bagian di mana rumah-rumah yang ditinggalkan masih utuh," kata Lewa.

Pekan lalu, Yanghee Lee, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, mengatakan bahwa krisis Rohingya tersebut memiliki "ciri genosida".

 

2 dari 2 halaman

Pemerintah Myanmar Menolak Tuduhan

Pemerintah Myanmar menolak tuduhan bahwa militernya melakukan pembersihan etnis terhadap Rohingya. Investigasi tentara atas tindakannya sendiri selama tindakan keras 2017 membebaskan diri dari kesalahan apapun.

Namun, dalam sebuah langkah mengejutkan bulan lalu, militer mengakui bahwa ditemukan di sebuah kuburan massal Rohingya di desa Inn Din akibat dibunuh oleh tentaranya.

Meski demikian, ketika ditanya tentang temuan buldoser terbaru di desa Rohingya, juru bicara pemerintah Zaw Htay menolak adanya penutupan barang bukti. Dia juga tidak mau memakai penggunaan kata Rohingya, dengan mengatakan: "Tidak ada Rohingya, tapi Bengali, please."

"Pemerintah daerah membersihkan daerah itu. Tidak ada penduduk desa di sana. Tidak ada perumahan hanya tanah biasa," cetus Htay.

"Kita harus membangun desa baru di sana, untuk pemukiman kembali, untuk mengembalikan orang-orang itu."

Ketika ditanya tentang laporan penghancuran kuburan massal, dia berkata, "Saya ingin tahu bukti apa yang sedang Anda bicarakan? Apakah itu kelompok teroris Arsa? Orang Bengali di seluruh dunia?

"Tolong beri saya bukti dasar yang andal dan konkret, tolong - tidak berdasarkan cerita bincang-bincang orang Bengali di seluruh dunia, pelobi Bengali," tambahnya.

Rohingya adalah minoritas Muslim yang sebagian besar tanpa kewarganegaraan. Mereka tinggal di Rakhine.

Organisasi hak asasi manusia mengatakan bahwa mereka telah menderita puluhan tahun mengalami penganiayaan sistematis dan tiga kampanye "pembersihan etnis" sejak tahun 2012, sebuah tuduhan yang ditolak pemerintah.

Kelompok tersebut tidak diakui oleh pemerintah sebagai minoritas asli Myanmar dan sering disebut sebagai "orang Bengali" dalam wacana resmi, sebuah istilah yang menyiratkan bahwa mereka adalah orang asing.

Ribuan orang Rohingya diperkirakan tewas dalam sebuah tindakan keras militer yang dimulai pada Agustus 2017, menyusul sebuah serangan terhadap pos-pos keamanan oleh kelompok pemberontak yang dikenal sebagai Arakan Rohingya Salvation Army (Arsa). Hampir 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh selama kekerasan tersebut terjadi.

Saksikan juga video berikut ini:

Â