Sukses

Korban Terus Bertambah, DK PBB Justru Tunda Voting Gencatan Senjata di Suriah

DK PBB menunda sidang darurat pemungutan suara untuk menetapkan gencatan senjata di Damaskus, Suriah, di tengah korban yang terus bertambah menyusul rangkaian konflik di Ghouta Timur sejak pekan lalu

Liputan6.com, Damaskus - Dewan Keamanan PBB menunda sidang darurat pemungutan suara untuk menetapkan gencatan senjata di Ghouta Timur, Damaskus, Suriah -- di tengah angka korban jiwa yang kian bertambah hingga mencapai sekitar 350 - 400 orang per Jumat 23 Februari 2018.

Usai diumumkan ditunda, belum jelas kapan DK PBB akan menggelar sidang darurat pemungutan suara itu.

Menurut rencana, pemungutan suara itu -- yang seharusnya digelar pada Kamis 22 Februari -- dilakukan untuk menghasilkan resolusi gencatan senjata selama 30 hari, demi membuka jalan bagi suplai bantuan kemanusiaan yang akan dikirim ke kawasan terdampak. Demikian seperti dikutip dari The Washington Post (23/2/2018).

Sebagai latar belakang, diketahui sejak Minggu 18 Februari lalu, Militer Pemerintah Rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad melakukan serangan artileri dan bombardir udara di Ghouta Timur, kawasan suburban yang disebut sebagai kantung militan pemberontak.

Akibatnya, serangan itu menewaskan sekitar 350 orang. Media lain menyebut total korban jiwa mencapai lebih dari 400 orang. Sebagian besar korban -- menurut perhitungan komunitas internasional dan firma pemantau The Syrian Observatory for Human Rights -- merupakan warga sipil non-kombatan.

Jika ditambah dengan yang terluka, total korban serangan yang berlangsung selama lima hari sejak 18 Februari itu mencapai sekitar ribuan orang dan membuat seluruh fasilitas dan tenaga medis di kawasan kewalahan, tulis The Washington Post mengutip The Syrian American Medical Society.

Banyaknya korban jiwa di Ghouta Timur menjadikan peristiwa itu sebagai yang paling berdarah sepanjang Perang Saudara Suriah yang telah berlangsung selama tujuh tahun.

2 dari 3 halaman

Dinamika Menjelang Sidang Darurat DK PBB

Sebagai sekutu kunci Rezim Presiden Suriah Bashar Al Assad, Rusia -- selaku Anggota Tetap DK PBB -- kerap menggunakan hak veto-nya untuk membatalkan pemungutan suara.

Namun, mengingat betapa seriusnya dampak dan korban jiwa di Ghouta -- yang kini disebut-sebut sebagai Aleppo baru -- komunitas internasional mendesak agar Rusia justru melanggengkan dan mendukung pemungutan suara yang akan digelar nanti.

Meski begitu, Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia justru mengatakan bahwa resolusi gencatan senjata itu -- yang dicetuskan oleh Swedia dan Kuwait -- sebagai sesuatu hal yang 'tidak realistis'.

Rusia juga tampak menafikan laporan korban jiwa di Ghouta, dan justru menyebut peristiwa di sana sebagai sebuah 'psikosis massal'.

Tapi Mark Lowcock, pejabat untuk Badan Urusan Kemanusiaan PBB sangat mendesak Dewan Keamanan untuk sama-sama meloloskan resolusi gencatan senjata demi membuka jalan bagi masuknya bantuan yang diperlukan bagi korban terdampak.

"Adalah sebuah kewajiban, obligasi berdasarkan hukum humaniter, dan hal itu bersifat mengikat," tegasnya.

"Mereka (para korban) tidak boleh dipermainkan dalam dinamika politik. Akses bantuan kemanusiaan ... adalah persyaratan hukum."

Kelley Currie, Wadubes Amerika Serikat untuk PBB menuduh Rusia dengan menyebut bahwa mereka 'tampak bermaksud menghalang-halangi usaha bantuan yang sangat berarti' untuk menghentikan pemboman dan menyelamatkan nyawa.

Namun, jelang sidang darurat yang semula dijadwalkan Kamis 22 Februari, kantor berita Rusia Tass, mengutip Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memaparkan bahwa delegasi Moskow bersikukuh tak akan mempertimbangkan untuk meloloskan resolusi gencatan senjata itu -- dengan alasan bahwa gencatan senjata itu justru akan memberikan keuntungan strategis bagi kelompok pemberontak dan teroris di kawasan.

"Kami siap untuk mempelajari resolusi itu, namun kami menawarkan usulan yang sangat ketat agar tak mencakupkan ISIS, Jabhat al-Nusra dan kelompok-kelompok yang mendukung mereka dalam gencatan senjata itu -- di mana mereka secara teratur menguliti lingkungan perumahan Damaskus," Kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov seperti dilaporkan Tass.

Di sisi lain, memang kerap muncul laporan bahwa kelompok pemberontak yang mendiami Ghouta Timur -- yang diketahui turut terafiliasi dengan Al Qaeda -- kerap bertindak keras di kawasan, memicu respons yang tak kalah keras dari pasukan rezim Suriah dan oposisi rezim (yang turut terlibat dalam Perang Saudara).

Namun, seperti pada kebanyakan konflik bersenjata umumnya, warga sipil selalu menjadi pihak yang paling dirugikan dari pertempuran semacam itu.

3 dari 3 halaman

Komite Palang Merah Internasional Pinta Segerakan Bantuan Humaniter

Robert Mardini, perwakilan tertinggi Komite Palang Merah Internasional di Timur Tengah, Kamis mengatakan bahwa dia "terkejut" dengan tingkat kekerasan di sekitar Ghouta Timur dan meminta akses humaniter sesegera mungkin ke warga sipil yang terdampak.

Dia mengatakan kepada wartawan di Beirut bahwa badan bantuan internasional tersebut memiliki sebuah konvoi kemanusiaan yang siap namun pihak berwenang Suriah belum menyetujui bagiannya.

"Skor terbunuh dalam beberapa hari terakhir, statistik mengejutkan, tapi banyak yang masih bisa diselamatkan," kata Mardini.

"Anak-anak, wanita dan pria kelelahan dan ketakutan di Ghouta Timur. Mereka berlutut, melemah karena berbulan-bulan dikepung."

 

Saksikan video pilihan berikut ini: