Liputan6.com, Washington DC - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan sekutunya di Asia dikabarkan tengah mempersiapkan operasi pencegatan kapal-kapal yang melanggar sanksi internasional seputar Korea Utara.
Kabar itu muncul beberapa hari usai AS menjatuhkan sanksi terbaru dan -- menurut klaim mereka -- terbesar terhadap Korea Utara pada Jumat 23 Februari lalu. Sanksi tersebut juga datang beberapa hari usai Jepang melaporkan bahwa kapal terafiliasi Korea Utara melakukan transfer muatan dengan kapal terafiliasi China -- sebuah tindakan yang melanggar Sanksi Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Advertisement
Baca Juga
Operasi itu dapat mencakup pengerahan Pasukan Penjaga Pantai Amerika Serikat (USCG -- satu dari empat cabang Angkatan Bersenjata AS) untuk melakukan operasi pencegatan dan pencarian kapal terduga pelanggar sanksi internasional seputar Korea Utara di perairan Asia-Pasifik, kata seorang pejabat senior AS kepada Reuters seperti dikutip dari Newsweek (25/2/2018).
Washington DC juga telah berbicara dengan mitra regional, termasuk Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Singapura untuk kepentingan koordinasi, supaya dapat lebih membatasi pemanfaatan perdagangan via laut yang dilakukan oleh Korea Utara.
Membuka Peluang Inspeksi Kapal di Laut Internasional
Strategi tersebut juga mungkin membuka peluang baru mengenai inspeksi atau penggeledahan kapal di laut internasional yang diduga membawa komponen senjata dan kargo terlarang lainnya, ke atau dari Korea Utara.
Selain itu, strategi itu juga memungkinkan Amerika Serikat untuk meningkatkan kekuatan Angkatan Laut dan Udara US Pacific Command -- yang bertanggungjawab atas kawasan Asia-Pasifik dan Semenanjung Korea.
Upaya tersebut bisa menargetkan kapal-kapal di laut lepas atau di perairan teritorial negara-negara yang memilih untuk bekerja sama. Meski begitu, tidak jelas apakah inisiatif operasi itu bisa berlanjut melampaui Asia.
Hingga laporan itu turun, Gedung Putih menolak untuk memberikan komentar resmi.
Operasi pencegatan semacam itu bukan yang pertama kali, karena otoritas AS pernah melakukan langkah yang serupa beberapa waktu belakangan -- dengan tujuan untuk memaksa Korea Utara masuk ke tataran negosiasi guna meninggalkan program senjata mereka.
Namun, strategi baru yang muncul ini mungkin akan memperluas cakupan wilayah dan mekanisme operasi -- hingga mungkin blokade Angkatan Laut di wilayah terluar perairan Korea Utara.
Kendati demikian, Korea Utara sebelumnya telah mengingatkan bahwa langkah blokade yang dilakukan negara lain terhadap mereka merupakan sebuah tindakan perang.
Sebuah Langkah yang Akan Memicu Perang?
Inisiatif itu, yang masih dalam tahap pengembangan, akan penuh dengan tantangan, berisiko memicu pembalasan Korea Utara, serta menuai komentar ambivalen dari komunitas internasional.
China dan Rusia, yang kerap menghadang usaha AS di Dewan Keamanan PBB untuk mendapatkan persetujuan penggunaan kekuatan militer dalam operasi pencegatan kapal seputar Korea Utara, kemungkinan akan menentang tindakan baru tersebut -- apalagi jika mereka melihat langkah itu bertendensi melampaui batas.
Sementara itu, seorang pejabat China yang anonim, mengatakan bahwa rencana AS semacam itu, seharusnya dilakukan di bawah naungan PBB, bukan secara sepihak atau antar beberapa negara saja.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri China, dalam sebuah pernyataan kepada Reuters, mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentang rencana tersebut. Namun, pada prinsipnya, China mendesak agar negara-negara yang relevan bertindak dan patuh sesuai dengan Resolusi PBB dan hukum internasional.
"Pada saat yang sama, kami berharap negara-negara yang relevan bertindak sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan dan hukum internasional," tambahnya, tanpa memberikan rincian.
Seorang pejabat senior pemerintah Korea Selatan mengatakan telah ada diskusi mengenai "larangan maritim yang intensif," termasuk pada pertemuan antar menteri luar negeri di Vancouver bulan lalu di mana Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson menekan rekan-rekannya mengenai masalah ini.
Namun, seorang pejabat Kementerian Pertahanan Jepang yang terlibat dalam perencanaan kebijakan mengatakan, "Kami berdiskusi dengan berbagai negara termasuk AS mengenai bagaimana menerapkan sanksi sepenuhnya, tapi saya belum pernah mendengar pembicaraan untuk membuat kerangka kerja atau koalisi (pencegatan di laut)."
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Jepang, menolak untuk mengomentari diskusi spesifik yang dilakukan negaranya dengan negara lain. Meski begitu, Kemlu Jepang kembali menggaungkan bahwa perlunya komunitas internasional untuk melakukan "tekanan maksimum" terhadap Pyongyang.
Lebih lanjut, Kemlu Jepang mengatakan, "Kerjasama erat dengan AS, ROK (Korea Selatan) dan masyarakat internasional termasuk China dan Rusia untuk menjamin keefektifan Resolusi Dewan Keamanan PBB, adalah sesuatu yang diperlukan" untuk mencapai denuklirisasi Semenanjung Korea.
Pemerintahan Trump juga telah mencari kerja sama yang lebih baik dari negara-negara Asia Tenggara, yang memiliki sedikit kapabilitas militer untuk membantu namun dipandang sebagai sumber intelijen mengenai pergerakan kapal, kata perwira AS.
"Semakin banyak mitra yang kita miliki, semakin banyak sumber daya yang harus kita dedikasikan untuk usaha ini," kata Chris Ford, Asisten Menteri Luar Negeri AS Bidang Keamanan Internasional dan Non-proliferasi. Namun, Ford menolak untuk berbicara tentang diskusi dengan negara-negara tertentu.
Washington DC sangat tertarik untuk mendeteksi transfer kapal ke kapal di lautan barang terlarang, sesuatu yang oleh Korea Utara telah semakin banyak digunakan saat kapal-kapal tersebut menghadapi pengawasan ketat muatan mereka di pelabuhan-pelabuhan Asia, kata beberapa pejabat.
Advertisement
Tetap Jalan?
Washington DC diprediksi akan tetap memulai operasi itu secara bertahap, bahkan jika diskusi dengan sekutu belum selesai, menurut pejabat senior AS seperti dikutip dari Newsweek.
Dan, demi menghindari insiden yang tak diinginkan, sejumlah pakar AS dikabarkan tengah mengembangkan justifikasi hukum -- berlandaskan pada Resolusi DK PBB -- untuk menghentikan kapal-kapal pelanggar sanksi serta melanggengkan otoritas AS agar bisa naik dan melakukan inspeksi terhadap kapal-kapal yang dicurigai terafiliasi dengan Korea Utara di laut lepas internasional.
Washington DC juga menyusun tata peraturan kontak senjata atau rules of engagement (ROE) yang bertujuan untuk menghindari konfrontasi bersenjata di laut, kata beberapa pejabat.
Seorang anggota parlemen partai berkuasa di Jepang mengatakan bahwa negaranya tengah terlibat diskusi dengan Amerika Serikat yang difokuskan untuk koordinasi inisiatif operasi pencegatan itu.
Sementara iru, seorang pejabat Kementerian Pertahanan Jepang mengatakan bahwa PBB juga perlu mengembangkan sebuah resolusi yang mampu menjadi justifikasi bagi pelaksanaan inspeksi kapal di laut lepas.
Tapi, mengingat kecil kemungkinan PBB akan melakukan hal itu, maka, si pejabat Jepang mengatakan bahwa langkah tersebut akan diambil alih oleh per-negara, seperti Amerika Serikat. Namun, ia sendiri mengaku khawatir jika langkah sepihak itu akan menimbulkan insiden berbahaya.
"Saya pikir tidak mungkin PBB akan memperkuat sanksi, sehingga inspeksi terhadap laut lepas dimungkinkan akan dilakukan tanpa kesepakatan," kata pejabat Kemhan Jepang.
"Tapi hal itu akan memicu tindakan perang," katanya, mengacu pada Korea Utara.
Di sisi lain, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin mengatakan kepada wartawan di DC pada hari Jumat bahwa Amerika Serikat tidak mengesampingkan opsi inspeksi kapal di laut internasional.
Namun seorang perwira AS mengatakan secara pribadi bahwa tindakan tersebut, terutama menggunakan awak kapal pada inspeksi, akan diputuskan dalam kasus per kasus dan dengan sangat hati-hati.
Mengapa US Coast Guard?
Beberapa pejabat AS juga percaya bahwa risiko dapat diminimalisir jika mengerahkan US Coast Guard, yang membawa sedikit senjata dan secara teknis lebih banyak terlibat dalam misi penegakan hukum -- sehingga diperkirakan mampu mengurangi tensi operasional, ketimbang mengerahkan kapal perang Angkatan Laut AS (US Navy).
Di sisi lain, US Coast Guard masih menolak untuk membahas apakah kapal tersebut mereka dapat kapal ke kawasan Asia-Pasifik -- jauh dari garis pantai AS. Namun, seorang pejabat USCG mengakui bahwa "Penyebaran kapal bergantung pada tujuan kebijakan luar negeri dan ketersediaan operasional aset kami," kata juru bicara USCG Letnan Komandan Dave French.
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Advertisement