Liputan6.com, Assam - Pemerintah Negara Bagian Assam di India dikabarkan berencana mendeportasi puluhan ribu imigran, yang sebagian besar Muslim, keluar dari wilayahnya.
Dua tahun lalu, Assam, yang berbatasan dengan Bhutan dan Bangladesh, menetapkan kebijakan baru, yakni mengidentifikasi setiap penduduk yang telah tinggal di negara bagian tersebut sebelum Maret 1971.
Dan, penduduk yang tak teridentifikasi akan dideportasi -- atau dalam kasus terburuk, menjadi orang tak berkewarganegaraan (stateless person). Demikian seperti dikutip dari The Guardian (26/2/2018). Sebaliknya, mereka yang teridentifikasi, tetap boleh menetap di Assam.
Advertisement
Media Bangladesh, Dhaka Tribune bahkan memasang tajuk berita yang menyebut bahwa fenomena itu berpotensi menjadi krisis seperti yang dialami etnis Rohingya di Myanmar.
Baca Juga
Pemerintah Assam, pada akhir Desember 2017, telah merampungkan dan merilis daftar sementara penduduk yang teridentifikasi -- yang berjumlah sekitar 19 juta nama.
Namun, tersisa 14 juta nama yang belum.
Otoritas Assam menekankan bahwa daftar final akan selesai awal tahun ini, dan akan mencakup jutaan nama lain yang teridentiffikasi.
Kendati demikian, sepanjang prosesnya, kebijakan itu telah menyulut kepanikan dan rasa cemas warga Assam, yang berujung pada kekhawatiran akan adanya puluhan ribu fenomena deportasi dan orang tak berkewarganegaraan (stateless person) dari negara bagian itu.
The Guardian menulis, rasa cemas itu memicu salah seorang yang merasa terancam dideportasi melakukan bunuh diri.
Hanif Khan (40), dari Distrik Cachar, ditemukan tewas bunuh diri. Istri Khan menduga, sang suami memilih merenggut nyawa diri sendiri karena tak menemukan namanya di daftar 19 juta penduduk yang telah teridentifikasi pemerintah Assam.
"Saya yakin ia bunuh diri karena tak menemukan namanya di daftar itu," kata sang istri, Rushka kepada The Guardian.
Menurut penuturan sang istri, Khan lahir di Assam dari ibu India dan ayah imigran dari Afghanistan -- yang berpindah sejak puluhan tahun lalu.
"Ia (Khan) mengatakan bahwa dokumen yang ia berikan kepada otoritas tampaknya tak cukup untuk menjadi bukti (status kependudukannya)," jelas Rushka mengomentari kejadian yang dialami oleh sang suami di Assam, India.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Imigran Bangladesh?
Assam dan lima negara bagian lain yang terletak di timur laut India, berbatasan dengan Bangladesh -- sepanjang sekitar 4.000 km.
Selama berabad-abad, hingga partisi antarnegara pada 1947, lalu-lalang manusia dari kedua kawasan berlangsung secara bebas dan dalam jumlah besar. Kebanyakan dari mereka berusaha menetap di India.
Pasca-1947, orang masih berlalu-lalang, tapi dalam jumlah kecil. Beberapa dekade usai 1947, otoritas India mengestimasi bahwa ada sekitar 15 juta orang yang berasal dari Bangladesh bekerja dan menetap di India tanpa dokumen dan prosedur legal.
Seiring waktu, fenomena lalu-lalang itu menimbulkan beragam masalah.
Muncul kabar yang menyebut bahwa petugas perbatasan India melakukan penembakan untuk menghalau imigran yang datang dari Bangladesh. Total individu yang diduga menjadi korban penembakan itu, sejak beberapa dekade, mencapai sekitar 1.000 orang.
Otoritas India berdalih, orang-orang yang mereka tembak adalah individu yang terlibat dalam sindikat penyelundupan manusia.
Di dalam India, seperti di Negara Bagian Assam, isu imigran tersebut memicu sentimen anti-imigran, berlandaskan pada sempitnya lahan ekonomi dan lapangan pekerjaan, serta memengaruhi dinamika politik seperti pemilu.
Puncaknya tahun 1980-an, ketika penduduk etnik di India melakukan pogrom atau persekusi, menargetkan desa-desa dan penduduk imigran -- yang sebagian besar memeluk Islam. Sekitar 1.800 orang tewas akibat pogrom itu.
"Dua puluh tahun lalu, Hindu membentuk sekitar 75 persen populasi. Sekarang, mayoritasnya Muslim," kata Pankaj Saha, dari Distrik Dhubri, Assam, mengomentari isu tersebut.
Advertisement
Bagaimana Selanjutnya?
"Kita telah menerima sekitar 65 juta dokumen kependudukan, untuk selanjutnya diproses," kata seorang aparatur sipil negara senior di Assam, Prateek Hajela.
Namun, ia tak bisa menjelaskan bagaimana nasib para penduduk yang tak dapat teridentifikasi, dan hanya mengatakan bahwa apa yang terjadi kepada mereka 'di luar kapasitas'-nya.
Menurut penaksiran lembaga pemantau independen IndiaSpend, nantinya akan ada sekitar 90.000 orang yang masuk dalam kategori tak teridentifikasi.
Akan tetapi, saat ini, sekitar belasan di antara mereka dikabarkan telah dideportasi.
Sementara 38.000 lainnya, menurut data kepolisian, mendadak menghilang dari peredaran.
Adapun sisanya dikabarkan akan menjalani proses formal dan menunggu sidang dengar pendapat mengenai status kependudukan masing-masing.
Sementara itu, seperti dikutip dari The Guardian, Pemerintah Assam telah membangun enam pusat detensi imigran yang nantinya dikhususkan untuk memproses para penduduk yang masuk dalam kategori tak teridentifikasi.
Hingga saat ini, menurut kabar, sekitar 2.000 orang telah menghuni enam pusat detensi yang tersebar di penjuru Assam.
Kepala Menteri Assam, Sarbananda Sonowal, dalam sebuah wawancara bulan lalu, mengatakan bahwa mereka yang berstatus tak teridentifikasi akan kehilangan hak konstitusional.
"Mereka hanya memiliki hak asasi manusia yang dijamin oleh PBB yang mencakup makanan, tempat tinggal dan pakaian."
Ketika diminta untuk mengomentari mengenai ancaman deportasi, Sonowal mengatakan, "Akan datang nanti."
Pejabat di Kementerian Dalam Negeri India menolak berkomentar mengenai catatan tersebut. Namun mengatakan bahwa harapan mereka adalah, Bangladesh akan menerima kembali warganya, seperti yang saat ini dilakukan pada kasus per kasus.
Bangladesh di sisi lain, mengatakan bahwa tidak mengetahui ada warganya yang hidup secara tidak sah di Assam, dan bahwa India tidak pernah mengangkat isu deportasi massal dari negara tersebut
Kenyataan itu membuat seorang penduduk Assam yang terancam dideportasi cemas. "Deportasi tidak akan pernah terjadi," kata Aman Wadud.
"Bangladesh tidak akan pernah menerima kami. Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada mereka. Mereka (imigran) akan menjadi orang tanpa kewarganegaraan, tanpa hak apa pun."