Sukses

Studi: Bertukar Pesan Seksual Makin Lazim di Kalangan Remaja

Remaja di zaman sekarang makin akrab dengan gawai, sehingga hal-hal eksplisit seperti pesan seksual, mudah disebarkan.

Liputan6.com, Toronto - Setidaknya satu dari empat remaja menerima pesan pendek atau SMS (Short Message Service) dan surat elektronik atau email yang berisi pesan seksual eksplisit.

Satu dari tujuh remaja mengirim pesan bernuansa seksual atau dikenal dengan istilah sexts, menurut sebuah studi, dikutip dari VOA Indonesia, Rabu (28/2/2018).

Bahayanya, bila pesan-pesan ini dikirim secara paksa atau dibagikan tanpa izin, dikhawatirkan muncul tindakan cyber bullying atau perundungan dunia maya. Ini bisa berdampak pada kesehatan mental remaja, kata penulis utama riset tersebut, Sheri Madigan, dari Institut Riset Rumah Sakit Anak-anak Alberta dan Universitas Calgary di Kanada.

Lebih dari satu di antara 10 remaja membagikan pesan-pesan seksual ini tanpa persetujuan, menurut hasil studi, dan satu dari 12 remaja memiliki pesan seksual yang dibagikan ke pihak lain tanpa persetujuan mereka.

"Remaja sekarang sering kali tidak bisa membedakan kehidupan dunia maya dan dunia nyata. Buat mereka, semuanya sama. Ini yang sulit dimengerti oleh para orangtua," kata Madigan.

Dia menambahkan, sebagian besar remaja tidak melaporkan pesan-pesan seksual itu kepada orangtua dengan berbagai alasan.

Bahkan mereka yang mengirimkan atau menerima pesan-pesan seksual, baik dalam bentuk teks, video, atau gambar-gambar, cenderung lebih berani melawan orangtua, kata para peneliti dalam laporan yang diterbitkan di jurnal JAMA Pediatrics.

Dari 39 hasil studi yang diterbitkan dengan melibatkan total 110.380 remaja, para periset menemukan bahwa rata-rata remaja tersebut berusia 12 hingga 17 tahun.

 

2 dari 2 halaman

Ini yang Bisa Dilakukan Orangtua

Lantaran anak-anak sekarang biasanya sudah menggunakan ponsel sejak usia 10 tahun, orangtua harus membahas mengenai pesan-pesan seksual atau sexting sejak dini, mengedukasi anaknya tentang seks secara aman, dan melindungi kerahasian pribadi mereka di dunia maya.

Elizabeth Englander, Direktur Pusat Pengurangan Agresi di Universitas Bridgewater menyarankan, orangtua tak serta-merta harus melarang sexting pada anak, sah-sah saja, tapi mereka harus mengajarkan cara bertanggung jawab dan menyampaikan konsekuensi saat anak melakukan sexting.

Orangtua juga harus membantu anak untuk belajar menolak, apabila anak dipaksa melakukan hal yang membuatnya tidak nyaman.

"Remaja sering menganggap orang dewasa sebagai pencemas dan terlalu berlebihan memperkirakan risiko, terutama untuk hal-hal yang melibatkan teknologi. Banyak remaja yang mengabaikan saran orang dewasa," kata Lisa Jones, seorang peneliti di Pusat Riset Kejahatan Pada Anak, Universitas New Hampshire, Durham, Inggris.

"Tapi sexting amatlah berisiko, membagikan gambar-gambar eksplisit tanpa persetujuan bisa merugikan dan bahkan berpotensi memunculkan tindak kriminal," imbuhnya.

Hasil penelitian menekankan pentingnya diskusi terbuka mengenai sexting, kata Jones.

"Remaja butuh orang dewasa yang bisa memberikan informasi akurat. Diskusi mengenai sexting menjadi sangat efektif, jika disertakan dalam pendidikan remaja, seperti misal hubungan romantis, memperlakukan satu sama lain dengan hormat, menghadapi tekanan seksual dan membuat keputusan yang sehat mengenai perilaku seksual."

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Â