Sukses

Kontroversi Senapan AR-15 dalam Upacara Pernikahan di Gereja AS

Sebuah gereja di Pennsylvania, Amerika Serikat, membuat resah warga setempat karena menggelar upacara menggunakan senapan AR-15.

Liputan6.com, Pennsylvania - Belum lepas dari trauma akibat insiden penembakan maut di sebuah SMA di Kota Parkland, Florida, warga Amerika Serikat (AS) kembali digegerkan oleh kabar tentang dugaan penyalahgunaan senjata api.

Sebuah gereja di negara bagian Pennsylvania menggelar upacara pernikahan dengan menyertakan aksesori berupa senapan jenis AR-15.

Seorang wanita memegang senapan AR-15 saat mengikuti pemberkatan pernikahan di Newfoundland, Pennsylvania (28/2). Upacara keagaman ini cukup aneh, karena para jemaah bukan membawa kitab suci melainkan menenteng senjata. (AFP/Don Emmert)

Tidak hanya didekap oleh pasangan pengantin, senjata AR-15 itu juga turut digunakan sebagai aksesori oleh para petugas gereja dan keluarga inti. Bahkan, deretan peluru senapan tersebut dirangkai sebagai mahkota yang dikenakan beberapa pendeta. Demikian dilansir dari News.com.au pada Kamis (1/3/2018).

Penggunaan senapan AR-15 tersebut bukanlah tanpa alasan, melainkan sebagai simbol untuk menciptakan perdamaian di Bumi.

Dengan dikawal penjagaan polisi dan aksi protes, iring-iringan pengantin itu berjalan membawa lusinan senapan AR-15 tanpa peluru yang akan diserahkan kepada Gereja Suaka Unifikasi (Unification Sanctuary Church), gereja yang menggelar upacara kontroversial tersebut.

Meski beralasan sebagai perlambang perdamaian, banyak pihak menuding upacara terkait sebagai bentuk dukungan terhadap Amandemen Kedua pada konstitusi AS, di mana di dalamnya terdapat aturan mengenai kepemilikan senjata oleh masyarakat sipil.

Jemaah The World Peace and Unification Sanctuary memegang senapan AR-15 saat mengikuti pemberkatan pernikahan di Newfoundland, Pennsylvania (28/2). (AFP/Don Emmert)

Pihak Gereja Suaka Unifikasi -- yang memiliki pengikut cukup banyak di dunia -- berkeyakinan bahwa senapan AR-15 cukup merepresentasikan "senjata batang kayu" yang dimuat di Kitab Wahyu Injil. 

Pendeta Sean Moon, yang memimpin gereja tersebut, menjelaskan senapan AR-15 sebagai simbol untuk mendoakan "sebuah perdamaian", di mana masyarakat, melalui hak yang diberikan oleh Tuhan dalam memikul senjata, bisa melindungi satu sama lain.

Sean Moon sendiri merupakan putra pendeta Sun Myung Moon, pria yang mengaku sebagai juru selamat, sekaligus pendiri sekte gereja terkait.

Jemaah The World Peace and Unification Sanctuary membawa senapan AR-15 saat mengikuti pemberkatan pernikahan di sebuah gereja di Newfoundland, Pennsylvania (28/2). (AFP/Don Emmert)

Ia meneruskan titah dari sang ayah untuk menyebarkan pesan perdamaian, tapi dengan cara-cara yang banyak dianggap kontroversial.

 

 

 

2 dari 2 halaman

Meresahkan Warga Sekitar

Sebelum benar-benar memasuki gereja, para pemegang senjata AR-15 wajib memastikan tidak ada peluru di dalam senapan  yang mereka bawa. Peluru pun dikosongkan isinya, dan dikumpulkan ke dalam sebuah kotak yang dijaga ketat oleh panitia.

Beberapa pendeta yang hadir mengenakan mahkota yang terbuat dari rangkaian peluru kosong.

Tim Elder, direktur misi global Gereja Suaka Unifikasi, mengatakan bahwa upacara terkait tidak lebih bertujuan memberkati pasangan pengantin, bukan sesuatu yang menyinggung insiden penembakan di Florida.

Seorang wanita lansia memegang senapan AR-15 saat mengikuti pemberkatan pernikahan di Newfoundland, Pennsylvania (28/2). Kegiatan gereja ini sempat mendapatkan kritikan dari penduduk setempat. (AFP/Don Emmert)

Sementara itu, massa di luar gereja mengadakan aksi protes, mengecam upacara terkait, karena dianggap meresahkan warga setempat. Bahkan, beberapa bangunan publik di sekitarnya, seperti sekolah dan toko, terpaksa ditutup guna mengindari risiko terjadinya aksi penembakan.

"Anda tahu, hal ini meresahkan kami?" teriak salah seorang demonstran.

"Saya tidak butuh senjata api untuk melindungi diri. Satu hal yang saya tahu, senjata api adalah pembunuh," ujar demonstran lainnya.

Karena aksi protes yang kian membesar, akhirnya polisi pun memerintahkan pengelola gereja untuk menyudahi lebih dini upacara kontroversial itu.

Menanggapi desakan tersebut, dengan berat hati, pihak gereja pun memutuskan untuk meniadakan agenda penutupan upacara.