Sukses

Australia Tidak Tinggal Diam dengan Ancaman PM Kamboja, Ini Alasannya

Ancaman PM Kamboja dalam menindak siapapun yang berani mengkritik dirinya mendapat kontra yang tegas dari pemerintah Australia, karena dianggap melukai HAM.

Liputan6.com, Sydney - Chris Bowen, politisi dari pihak oposisi Australia yang juga menjabat sebagai bendahara bayangan, mengatakan negaranya tidak akan membiarkan Perdana Menteri (PM) Kamboja mengintimidasi atau melecehkan pengunjuk rasa saat pemimpin otoriter berkunjung ke Australia bulan Maret ini.

PM Kamboja, Hun Sen, dijadwalkan menghadiri KTT Australia-ASEAN di Sydney.

Sebelumnya, sebagaimana dilansir dari Australia Plus pada Kamis (1/3/2018), PM Hun Sen mengeluarkan pernyataan ancaman. Ia menyebut, jika ada pengunjuk rasa yang membakar foto dirinya, maka ia tidak segan membuntuti dan memberi sanksi keras pada pelakunya.

"Meskipun ia Perdana Menteri, dia tidak akan datang ke negara kita dan bersikap seperti itu," ujar Bowen. 

Hun Sen diektahui berkuasa di Kamboja dengan memberi dirinya sendiri sebuah gelar "Tuan Agung Perdana Menteri Pemimpin Militer Tertinggi".

Gelar tersebut seakan menjadi legitimasi dirinya, sehingga ia merasa berhak mengambil alih upacara-upacara tradisional yang biasanya dipimpin oleh raja.

Ia telah memerintah Kamboja selama 33 tahun, melalui banyak tindakan melanggarm hukum

Sebagai contoh, pada 2017 lalu, ia memanfaatkan pengadilan untuk membubarkan partai oposisi guna memastikan Partai Rakyat Kamboja kembali memenangkan pemilihan di bulan Juli.

Akibat pemerintahan PM Hun Sen yang otoriter, negara-negara barat yang  memberikan bantuan ke Kamboja -- atas partisipasi PBB -- mulai mundur satu per satu sejak awal Abad ke-21. 

Amerika Serikat (AS) sempat memberikan peringatan lewat pemotongan bantuan, karena demokrasi yang berjalan mundur di Kamboja. Eropa juga mengancam hal yang sama.

 

Simak video tentang peradilan terhadap petinggi Khmer Merah berikut: 

2 dari 2 halaman

Australia Mulai Jaga Jarak dengan Kamboja

Sebaliknya, Australia telah memperkuat hubungan dengan rezim Hun Sen. Hubungan diplomatik antara Australia dan Kamboja sebagian besar berupa kesepakatan isu pemukiman bagi para pengungsi di Nauru, dengan nilai mencapai $55 juta, atau setara dengan Rp 550 miliar.

"Kebijakan Australia sudah selalu melibatkan Hun Sen, [tapi] saya pikir sudah waktunya meninggalkannya," kata Mu Sochua, seorang tokoh oposisi senior yang lari dari Kamboja saat partainya dibubarkan.

"Keterlibatan selama 25 tahun terakhir belum menunjukkan apa-apa selain, memperkuat kekuasaan Hun Sen," katanya kepada stasiun televisi ABC.

Pemerintahan Hun Sen selama belasan tahun diwarnai dengan korupsi dan kekebalan hukum, dan mengancam akan melancarkan "perang saudara" jika warganya tidak memilihnya pada pemilihan umum di bulan Juli.

Sementara itu, seorang juru bicara pemerintah Kamboja mengatakan ancaman Hun Sen telah disalahpahami.

"Pemerintah Australia sebagai tuan rumah, harus melakukan sesuatu untuk mengatur dan menjaga keamaanan para tamu khusus sesuai aturan internasional," ujar sumber terkait.

Juru bicara tersebut mengatakan kepada ABC, Hun Sen tidak berjanji akan datang ke acara KTT di Sydney.

Dalam pesan singkat, Phay Siphan, juru bicara terkait, menanggapi pertanyaan soal rencana kedatangan Perdana Menteri Kamboja dengan mengatakan "tidak dapat memprediksi dengan situasi seperti ini".