Sukses

Penghargaan HAM Aung San Suu Kyi Dicabut Museum Holocaust AS

Museum Memorial Holocaust Amerika mencabut penghargaan HAM terkemuka yang sebelumnya diberikan kepada Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil di Myanmar yang juga pemenang Nobel Perdamaian.

Liputan6.com, Washington, DC - Museum Memorial Holocaust Amerika mencabut penghargaan HAM terkemuka yang sebelumnya diberikan kepada Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar yang juga pemenang Nobel Perdamaian.

Pencabutan penghargaan pada 6 Maret 2018 tersebut lantaran Aung San Suu Kyi dinilai tidak berusaha menghentikan atau mengakui pembersihan warga Rohingya di Myanmar.

Dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (8/3/2018), museum di Washington DC tersebut menganugerahkan Elie Wiesel Award kepada Suu Kyi pada 2012.

[bacajuga:Baca Juga](30l85180 3084514 3101833)

Dalam pernyataan tertulisnya museum itu mengatakan, di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi, Liga Nasional Untuk Demokrasi menolak bekerja sama dengan PBB, mendorong pidato bernada kebencian terhadap Muslim-Rohingya, dan secara aktif mencegah wartawan mengungkap "skala kejahatan" di negara bagian Rakhine.

"Ketika serangan militer terhadap Rohingya terungkap pada tahun 2016 dan 2017, kami berharap Anda--sebagai seseorang yang kami dan banyak pihak lainnya menghargai komitmen Anda atas martabat manusia dan hak asasi universal--akan melakukan sesuatu untuk mengutuk atau menghentikan kampanye brutal militer dan untuk mengedepankan solidaritas terhadap warga Muslim-Rohingya," demikian tulis pernyataan itu.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

2 dari 2 halaman

Permintaan Museum Holocaust kepada Suu Kyi

Museum itu mengatakan, serangan militer dan tindakan penindasan lainnya terhadap warga Rohingya telah semakin memburuk dalam lima tahun terakhir. Mereka juga menuntut agar Suu Kyi menggunakan wewenang moralnya untuk mengatasi situasi tersebut.

Museum Memorial Holocaust Amerika meminta Suu Kyi menggunakan kedudukannya untuk bekerja sama dengan Dewan HAM PBB dan Situasi HAM Myanmar untuk menyampaikan kebenaran tentang kekejaman yang telah dilakukan di negara bagian Rakhine dan menuntut pertanggungjawaban yang akuntabel bagi pelaku kejahatan.

Hampir 700 ribu warga Muslim-Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh sejak Agustus 2017, usai gelombang kekerasan terjadi di Rakhine.

PBB menyebut peristiwa itu setara dengan pembersihan etnis. Aktivis-aktivis HAM dan saksi mata Rohingya menuduh pasukan keamanan melakukan pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran.

Myanmar telah sejak lama memposisikan Rohingya sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan menolak memberikan kewarganegaraan dan hak-hak mendasar bagi mereka.