Sukses

Kinerja Buruk dan Ingkar Janji, Wali Kota Ini Dipasung Warga

Tanpa basa-basi, warga membawa wali kota di Bolivia ini dan memasungnya.

Liputan6.com, San Buenaventura - Masyarakat di San Buenaventura, sebuah kota kecil di Bolivia utara, baru-baru ini memanfaatkan hak konstitusional yang disebut keadilan sosial untuk memasung wali kotanya, Javier Delgado. Mereka melakukannya selama satu jam.

Hal itu dilakukan untuk memberi tahu dia bahwa mereka tidak puas dengan kinerjanya.

Seperti dikutip dari Oddity Central, Kamis (8/3/2018), foto-foto saat wali kota di Bolivia dipermalukan kemudian beredar di media sosial dan situs berita Amerika Selatan sejak akhir Februari.

Dalam foto tersebut, terlihat Delgado tengah duduk di tanah dengan satu kaki terjebak dalam perangkat pasung. Ia dikelilingi warga kota yang kecewa dengan kinerjanya.

Pada 25 Februari, wali kota Javier Delgado seharusnya meresmikan sebuah jembatan yang dibangun dengan dana negara bagian dan kota. Namun, ketika sampai di lokasi tersebut, dia terkejut saat mengetahui banyak orang tengah menunggunya untuk memberikan sebuah "pelajaran" kepadanya.

Tanpa basa-basi, mereka membawa Delgado dan memasukkannya ke dalam pasung kayu.

"Mereka bahkan tidak memberi saya kesempatan untuk mencari tahu mengapa saya dihukum seperti ini. Tapi saya tidak melakukan perlawanan karena mengetahui ada risiko...," kata wali kota di kota kecil di Bolivia utara itu kepada media La Razon.

"Kemudian, mereka memberi saya kesempatan untuk menjelaskan. Kemudian mereka meminta maaf karena telah  dimanipulasi dan salah informasi."

Hukuman sosial di Bolivia ini merupakan yang ketiga diterapkan kepada Delgado selama dua setengah tahun masa jabatannya.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 2 halaman

Hukuman dari Warga

Hukuman dari warga juga dialami oleh seorang pejabat tinggi Bolivia. Ia bahkan dipukuli hingga tewas.

Sekelompok penambang yang sedang menggelar unjuk rasa yang melakukannya, setelah sebelumnya menculik korban.

Rodolfo Illanes, wakil menteri dalam negeri (wamendagri), memutuskan untuk berdialog dengan para pengunjuk rasa pada Kamis, 25 Agustus 2016 di Panduro. Kota itu terletak 160 kilometer dari ibu kota, La Paz. Namun, dalam perjalanannya, rombongan itu dicegat oleh sekolompok penambang. Rodolfo Illanes diculik.

"Sekarang ini, seluruh indikasi meruncing bahwa Wamendagri Rodolfo Illanes secara brutal dibunuh oleh sekelompok pengecut," kata menteri pemerintahan Carlos Romero.

Menurut menteri pertahanan, Reymi Ferreira, Illanes dipukuli hingga tewas oleh para penambang.

"Asisten Illanes berhasil kabur dari para penculik yang menyiksanya. Kini ia dirawat di rumah sakit," kata Ferreira.

"Kejahatan ini jelas akan dihukum berat. Pihak otoritas keamanan telah menginvestigasi kasus ini. Sekitar 100 orang telah ditangkap," ujarnya.

Sementara itu, Moises Flores, direktur stasiun radio tambang, mengatakan, "Kami bisa melihat jasad Wamendagri Illanes. Kolega kami mengatakan ia tewas akibat pukulan."

Protes yang dilakukan oleh penambang di Boliva gencar dilakukan dalam seminggu terakhir. Mereka meminta perubahan undang-undang. Namun, unjuk rasa makin brutal.

Setelah menutup jalan tol, dua orang tewas, sementara 17 polisi terluka.

Federasi Nasional Pertambangan Bolivia (Fencomin), yang dulu pernah menjadi sekutu kuat presiden sayap kiri, Evo Morales, melakukan protes yang tak kunjung usai setelah negosiasi undang-undang pertambangan gagal.

Para pengunjuk rasa sebelumnya menuntut konsesi pertambangan yang lebih luas, hak untuk bekerja untuk perusahaan swasta, dan kesempatan membentuk perwakilan serikat pekerja yang lebih besar.

Sebagian besar penambang di Bolivia, salah satu negara termiskin di Amerika Selatan, bekerja di koperasi pemerintah. Mereka menggantungkan hidup pada produksi perak, timah, dan seng. Hanya sedikit perusahaan pertambangan milik asing di sana, tidak seperti di negara tetangga Peru dan Chile.

Gas alam menyumbang untuk kira-kira setengah dari total ekspor Bolivia. Morales, mantan petani cokelat, menasionalisasikan sektor sumber daya Bolivia setelah berkuasa pada tahun 2006. Awalnya tindakan itu menuai pujian karena memberikan manfaat dalam bentuk program-program kesejahteraan dan meningkatkan pembangunan.

Akan tetapi, tuduhan kronisme dan otoritarianisme merongrong pemerintahannya dalam beberapa tahun terakhir, dan bahkan serikat yang pernah menjadi pendukung intinya berpaling menyusul harga produk tambang yang jatuh.