Liputan6.com, Naypyidaw - Setelah mengusir hampir 700 ribu muslim Rohingya keluar dari Myanmar, militer negara itu kini membangun basis-basis militer di lahan di mana sebagian dari rumah dan masjid Rohingya dulu berdiri, kata Amnesty International pada Senin, 12 Maret 2018.
Laporan itu turut disertai dengan bukti baru berupa pencitraan satelit. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia (13/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Amnesty menyebut, sebagian dari lebih 350 desa Rohingya, yang musnah terbakar dan sebagian bangunan yang tidak rusak di negara bagian Rakhine, kini sudah diratakan dengan tanah.
Dalam satu kasus penduduk Rohingya yang masih bertahan di Myanmar diusir paksa supaya tempat mereka dijadikan basis militer.
Juru bicara pemerintah Myanmar tidak dapat dimintai keterangan.
Di sisi lain, beberapa pejabat Myanmar mengatakan, desa-desa tadi sengaja diratakan dengan tanah untuk dibangun perumahan baru bagi etnis Rohingya yang pulang dari pengungsian di Bangladesh.
Akan tetapi, Amnesty International mengatakan, pembangunan yang dilakukan Myanmar di daerah Rohingya dulu tinggal tampaknya dirancang untuk menampung lebih banyak alat keamanan dan penduduk etnis lain selain Rohingya -- mencegah etnis itu untuk kembali pulang ke Rakhine.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Pemulangan yang Terhambat
Laporan itu muncul di tengah proses repatriasi (pemulangan) pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar yang tengah terhambat.
Bangladesh dan Myanmar telah menyepakati proses repatriasi sejak November 2017. Namun, pada 22 Januari 2018, pemulangan harus ditunda.
Pemerintah Bangladesh beralasan, penundaan repatriasi dilakukan karena sulit untuk mendata seluruh pengungsi yang akan dipulangkan -- yang diperkirakan lebih dari setengah juta jiwa.
"Daftar nama pengungsi yang akan direpatriasi masih belum siap. Verifikasi data dan kamp transit untuk proses repatriasi juga belum," kata Abul Kalam, Komisioner Rehabilitasi dan Bantuan Pengungsi Bangladesh, lembaga pemerintah yang menangani etnis Rohingya yang eksodus ke Bangladesh, seperti dikutip dari ABC Australia.
Di sisi lain, Myanmar justru menyalahkan Bangladesh atas keterlambatan itu -- meski berbagai komunitas internasional dan pihak pengungsi Rohingya telah melayangkan tudingan bahwa Myanmar tampak tak melakukan hal yang signifikan demi melancarkan proses repatriasi.
Lembaga aktivisme dan advokasi HAM Fortify Rights yang berbasis di Amerika Serikat menyatakan bahwa Myanmar belum optimal memberikan perbaikan terhadap kampung-kampung Rohingya yang rusak akibat rangkaian kekerasan dan konflik yang terjadi di Rakhine pada Agustus 2017.
Berbagai organisasi HAM juga menganggap bahwa Myanmar belum bisa memberikan penjaminan dan pemenuhan hak serta keamanan bagi etnis Rohingya -- jika proses repatriasi mulai berjalan nantinya.
Advertisement