Liputan6.com, Arizona - Supervolcano dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar dari alam, dan bahkan dapat memicu terjadinya kiamat.
Hal itu karena erupsinya mampu memuntahkan 1.000 kubik kilometer material padat, cair, dan gas yang memicu kerusakan, tidak hanya di daerah sekitarnya, tetapi juga di zona jangkauan yang lebih luas, mencakup sebagian besar wilayah di Bumi.
Akan tetapi, sebuah studi ilmiah terbaru justru menyebut peristiwa super erupsi tidak akan menghancurkan peradaban manusia, tetapi memicu perkembangan yang lebih pesat. Demikian dilansir dari IFL Science pada Selasa (13/3/2018).
Advertisement
Temuan ilmiah tersebut didapat dari penelitian terhadap sejarah mega erupsi Danau Toba yang terjadi sekitar 74.000 tahun silam. Tim peneliti yang berada dari Arizona State University menyimpulkan bahwa ada sekelompok manusia yang berhasil bertahan, dan mengembangkan peradaban yang lebih maju setelahnya.
Mega erupsi Danau Toba disebut sebagai yang terparah di sepanjang 2 juta tahun terakhir. Ledakannya mampu membentuk kawah raksasa berdiameter hampir 100 kilometer, dan memuntahkan 2.800 kubik kilometer abu vulkanis yang menutupi hampir seluruh langit Bumi.Â
Baca Juga
Meski begitu, dampak global dari mega erupsi ini masih terus diperdebatkan hingga saat ini, termasuk tentang kemungkinan menyebabkan kiamat bagi banyak makhluk hidup prasejarah.
Belum lama ini, muncul teori yang mengatakan bahwa mega erupsi Toba menyebabkan "bendungan abu" yang menghalangi masuknya cahaya matahari, sehingga memicu terjadinya musim dingin berkepanjangan di banyak tempat di seantero jagat.
Hal tersebut lantas dianggap sebagai pemicu punahnya beberapa makhluk hidup, termasuk beberapa peradaban penting manusia di era prasejarah.
Karena perubahan iklim seperti itu selalu menjadi aspek paling berbahaya dari letusan yang signifikan, banyak peneliti berupaya mencari tanda-tanda di banyak lokasi di seluruh dunia.
Terutama karena efek musim dingin pasca-mega erupsi tidak dapat ditemukan di banyak deposit geologi, maka pendapat tentang kiamat yang memusnahkan peradaban makhluk hidup prasejarah kerap diragukan.
"Cara untuk membuktikan kelompok manusia selamat dari mega erupsi (Toba), adalah mencari artefak yang berkaitan dengan kegiatan manusia kala itu," jelas Profesor Curtis Marena, direktur bidang pada Institut Sejarah Manusia di Arizona State University.
Menurut hasil penelitian yang dipimpinnya, mega erupsi Toba hampir tidak menyisakan fosil-fosil manusia, tetapi tanda-tanda aktivitas yang condong bergerak ke arah barat.Â
Aktivitas migrasi tersebut turut membawa serta beberapa hal yang berkaitan dengan kawasan Toba, baik di sengaja maupun tidak, seperti aneka perkakas, kebiasaan hidup, hingga material vulkanis.Â
Â
 Simak video mengenai meletusnya gunung James Bond di Jepang berikut:Â
Bermigrasi ke Afrika Selatan
Saat meneliti situs geologi di Afrika Selatan, kelompok peneliti terkait menemukan banyak sedimen kuno yang mereka sebut sebagai cryptotephra, atau secara harafiah berarti "abu tersembunyi".
Sedimen tersebut ditemukan di dua situs arkeologi, yang menandai perkembangan awal manusia modern, di Vleesbaai dan Pinnacle Point. Setelah diteliti secara geokimia, debu vulkanis tersebut benar berasal dari mega erupsi Toba.
Hal di atas berarti mega erupsi Toba diperkirakan mendorong terbangnya abu vulkanis hingga sejauh 9.000 kilometer. Namun, benarkah dugaan tersebut?
Sayangnya tidak. Bukti-bukti penelitian arkeologi terkait justru menunjukkan bahwa "abu tersembunyi" itu dibawa oleh migrasi kelompok manusia, bukan dari embusan angin dari arah timur.
Temuan cukup banyak "abu tersembunyi" pada perkakas dan artefak kuno lain, menyiratkan bahwa sekelompok manusia berhasil mempelajari manfaat dari letusan mega-erupsi. Hal itu dilakukan bersamaan dengan upaya mereka bermigrasi, mencari tempat yang lebih aman untuk melanjutkan peradabannya.
Akan tetapi, menurut Prof Curtis, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari penelitian terkait, yakni lingkup penelitian yang hanya mencakup beberapa kecil wilayah.
Diperlukan penelitian lanjut, dan dalam jangkauan yang lebih luas, untuk mengetahui dengan spesifik tentang sejarah manusia bertahan dari bencana mega erupsi.
"Satu-satunya kemungkinan besar dipilihnya Afrika Selatan sebagai destinasi migrasi adalah karena adanya ‘angin jet’, yang berembus bolak-balik antara selatan benua Afrika dan Asia Tenggara," ujar Prof Curtis menjelaskan.
"Bahkan mereka mampu mengembangkan peradaban lebih maju setelahnya, di mana hal itu berarti telah ada pemahaman cukup mengenai teknologi untuk melawan."Â
Â
Advertisement