Liputan6.com, Jakarta - Cambridge Analytica, perusahaan konsultan politik berbasis data asal Inggris, konon berada di balik kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat 2016. Pun dengan kemenangan telak Barisan Nasional dalam Pemilu Malaysia 2013, serta masih banyak lagi.Â
Namun, belakangan, 'prestasi' tersebut dipertanyakan. Hasil investigasi jurnalis media Inggris, Channel 4 News mengarah pada dugaan bahwa Cambridge Analytica menggunakan cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya.Â
Pertama, perusaan tersebut dikaitkan kebocoran data puluhan juta pengguna Facebook.
Advertisement
Data-data tersebut diduga kuat digunakan untuk membantu mereka merancang perangkat lunak (software) untuk memprediksi sekaligus memengaruhi pilihan para pemilih di bilik suara.
Seperti dikutip dari CNN Tech (20/3/2018), jurnalis Channel 4 News menyamar sebagai calon klien potensial dari Sri Lanka, yang latar belakangnya dari sebuah keluarga kaya dan terpandang.Â
Jurnalis tersebut menemui sejumlah eksekutif Cambridge Analytica, termasuk CEO-nya, Alexander Nix.Â
Kamera tersembunyi yang merekam pertemuan tersebut mengabadikan bagaimana Nix membeberkan cara kerja perusahaannya.Â
Baca Juga
Pada klien palsu itu, Nix membuat bisa melakukan apapun demi kepentingan kliennya. Misalnya, menjebak politisi untuk menerima suap dan merekamnya. Atau, mengirimkan sejumlah gadis-gadis cantik asal Ukraina ke rumah target.
"Anda menggunakan para gadis untuk melakukannya, misalnya untuk menggoda seseorang? Mereka gadis lokal? Bukan gadis-gadis Sri Lanka?," tanya reporter yang menyamar dalam video.Â
Nix kemudian menjawab, "Boleh dikata kami bisa mendatangkan gadis Ukraina," kata dia. "Mereka sangat cantik. Cara itu biasanya bekerja dengan baik."
Nix juga mengatakan bahwa Cambridge Analytica dapat mengirim seseorang yang berpura-pura sebagai pengembang kaya ke Sri Lanka untuk menyuap politisi, merekam pertemuan tersebut dan kemudian memostingnya di internet.
Rekaman pembicaraan dengan Alexander Nix kemudian diolah dan kemudian ditayangkan dalam program berita di Channel 4.
Bantahan Cambridge Analytica
Ketika diminta konfirmasi terkait kabar itu, pihak Cambridge Analytica membantahnya.
Pihak firma analisis itu juga menjelaskan bahwa laporan itu, "Sengaja telah dimanipulasi dan didesain sedemikian rupa, untuk menggambarkan sisi negatif terkait bagaimana perusahaan kami berbisnis."
Sementara itu, dalam sebuah keterangan resmi, CEO CA Alexander Nix turut mengutarakan bantahan serupa.
Nix juga menyatakan pembicaraannya dengan klien palsu itu -- yang ternyata jurnalis Channel 4 -- adalah 'skenario hipotesis' yang tujuannya hanya untuk lucu-lucuan, bukan serius.Â
"Kami sama sekali tidak terlibat dalam upaya pemerasan dan penjebakan (untuk kepentingan politik) semacam itu," kata dia.Â
"Saya tekankan sekali lagi bahwa Cambridge Analytica tidak terlibat dalam aktivitas bisnis seperti (yang digambarkan skenario) itu," lanjutnya.
Curi Data Facebook Lewat Kuis Kepribadian
Media New York Times dan The Observer of London melaporkan, Cambridge Analytica diduga mengeksploitasi informasi dari 50 juta pengguna Facebook dan menggunakannya untuk mengembangkan teknik yang bisa digunakan untuk mendukung kampanye Donald Trump dalam Pilpres 2016. Tujuannya, untuk mempengaruhi para pemilih.
Perusahaan yang terafisilasi dengan Strategic Communication Laboratories (SCL) itu punya kantor di London, New York, Washington DC, juga di Brasil dan Malaysia. Sementara, miliarder pengelola investasi global (hedge fund) sekaligus pendukung Donald Trump, Robert Mercer adalah pemiliknya.
Cambridge Analytica memiliki keterkaitan dengan dengan mantan kepala penasihat Trump Steve Bannon dan manajer kampanye Trump 2020, Brad Parscale.
Seperti dikutip dari thejournal.ie, Psikolog Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan menciptakan aplikasi prediksi kepribadian, thisisyourdigitallife, yang diunduh oleh 270.000 orang.
Aplikasi tersebut memungkinkan Kogan untuk mengakses informasi seperti konten seperti apa yang disukai pengguna Facebook, asal kota yang mereka dalam data profil.
Informasi-informasi tersebut kemudian diteruskan ke Strategic Communication Laboratories (SCL) dan Cambridge Analytica.
Kepada saluran televisi Kanada, CBC, Christopher Wylie, mantan karyawan Cambridge Analytica mengaku, perusahaan tersebut menggunakan data-data pribadi yang didapatkan tanpa persetujuan.
Itu adalah salah kasus pencurian data paling parah dalam sejarah Facebook.
Sejak kabar mengejutkan itu menyeruak, Facebook telah memblokir laman Strategic Communication Laboratories (SCL) dan Cambridge Analytica, juga akun milik Christopher Wylie dan Aleksandr Kogan.
Pihak Facebook berpendapat bahwa aplikasi thisisyourdigitallife berstatus resmi, namun menuduh Kogan kemudian melanggar persyaratan Facebook dengan mengirimkan data ke SCL atau Cambridge Analytica.
Perusahaan raksasa media sosial itu mengaku telah mengetahui insiden yang terjadi pada 2016 tersebut dan meminta semua pihak yang terkait untuk menghapus data-data yang mereka dapatkan.
"Klaim bahwa ini adalah pembobolan data sepenuhnya salah," kata pihak Facebook, Sabtu 17 Maret 2018.
Perusahaan tersebut mengatakan, pengguna aplikasi diduga dengan sadar memberikan informasi mereka.
Meski demikian, wakil kepala bagian Legal Facebook, Paul Grewal mengaku pihaknya terus menyelidiki klaim tersebut.
"Kami akan mengambil langkah hukum bila perlu untuk menuntut pertanggungjawaban dan akuntabilitas mereka atas perilaku apapun yang melawan hukum," ujar pihak Facebook, seperti dikutip dari VOA.
Sementara, pihak Cambridge Analytica membantah keras tuduhan yang diarahkan pada mereka.
Perusahaan itu mengaku telah menghapus data-data Facebook dari pihak ketiga pada 2014, setelah mengetahui bahwa informasi-informasi tersebut tak memenuhi aturan.
Advertisement