Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi melakukan serah terima enam orang ABK yang menjadi korban penyanderaan kelompok bersenjata di Benghazi, Libya.
Enam orang WNI yang tampak mengenakan setelan batik itu diserahkan kepada keluarga dengan suasana haru di Kantin Diplomasi Kemlu RI, Jakarta.
Menurut Menlu Retno, keenam ABK ini disandera sejak tanggal 27 September 2017. Ia juga mengucap rasa syukur sebab keenam WNI tiba di Tanah Air dengan selamat.
Advertisement
"Saya mewakili Pemerintah Indonesia mengucap syukur atas kembalinya enam orang WNI yang bekerja sebagai ABK di kapal Salvatur VI berbendera Malta," ujar Menlu Retno sesaat sebelum melakukan serah terima di Kantin Diplomasi Kemlu pada Senin, (2/4/2018) siang.
"Pembebasan ini dapat dilakukan berkat kerja sama antara Kemlu, BIN dan KBRI di Tunisia," tambah dua.
Dalam pemaparannya, Menlu Retno juga mengatakan bahwa upaya pembebasan dari kelompok bersenjata di Benghazi tidak lah mudah. Butuh pertimbangan yang matang bagi tim untuk bisa terjun langsung ke lokasi penyanderaan.
Baca Juga
"Salah satu masalah yang ditemui oleh pemerintah untuk bisa melakukan pembebasan adalah suhu perpolitikan di Libya. Oleh sebab itu, diplomasi selama enam bulan yang kami lakukan cukup sulit," jelas Menlu Retno.
"Atas nama pemerintah Indonesia, sekali lagi saya sampaikan dengan mengucap syukur kita dapat membawa pulang keenam ABK," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa salah satu motif penyanderaan oleh kelompok bersenjata di Benghazi tersebut adalah masalah ekonomi.
"Seluruh isi kapal dijarah oleh kelompok bersenjata. Mulai dari uang, ponsel, lemari es, bahkan celana dalam mereka diambil," ujar pria yang akrab disapa Iqbal tersebut.
"Penangkapan sendiri terjadi pada tanggal 23 September 2017 dan baru diterima kabarnya oleh pemerintah Indonesia lima hari setelahnya," tambah Iqbal.
Â
Tak Ada Tebusan Uang
Setelah kabar penyanderaan diterima, pemerintah Indonesia mengaku kesulitan untuk dapat berkomunikasi dengan enam ABK. Dengan bantuan KBRI di Tunisia dan BIN yang bernegosiasi dengan kelompok bersenjata, barulah Kemlu diberi akses untuk menelepon keenam WNI yang disandera.
"Pada Desember 2017, pemerintah Indonesia baru dapat berkomunikasi dengan enam WNI lewat sambungan telepon dan memastikan bahwa semua dalam kondisi hidup," ujar Iqbal.
"Tak ada uang tebusan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya penyelamatan. Semua dilakukan dengan cara diplomasi," tegasnya.
Salah satu upaya diplomasi itu adalah dengan menjelaskan kepada kelompok bersenjata bahwa Indonesia adalah sahabat Libya yang selama ini mendukung penuh negara tersebut.
"Pendekatan secara intensif terus kami lalukan. Kami juga menjelaskan bahwa Indonesia tak ikut campur dalam konflik yang sedang terjadi di negara itu. Bahkan kami juga mengatakan bahwa Indonesia adalah sahabat Libya dan juga kami jelaskan bahwa dahulu tahun 1996 pernah memediasi kondisi perdamaian di Filipina Selatan. Upaya dan pendekatan diplomasi seperti itulah yang kami lakukan sehingga memakan waktu hingga enam bulan," ujar Iqbal.
Selama proses penyanderaan keenam ABK yang diketahui bernama Ronny William asal Jakarta, Joko Riadi asal Blitar dan Haryanto, Saefuddin, Waskita Ibi Patria serta Muhammad Abudi asal Tegal ini hanya makan seadanya.
Selama enam bulan mereka harus tinggal di dalam kapal dan apabila ingin keluar, harus mendapat pengawalan dari para anggota bersenjata Benghazi.
Iqbal juga menuturkan, keenam sandera ini bahkan menjadi saksi peperangan yang terjadi di Libya. Menurut pengakuan salah satu ABK, suara bom dan serangan senjata hanya berjarak dua kilometer dari lokasi penyanderaan mereka.
Advertisement