Liputan6.com, Kabul - Dengan tiga orang anak di bawah usia lima tahun dan seorang suami yang tidak bisa baca-tulis, Yahapati Ahmadi (25), bermimpi mengubah nasibnya dengan menempuh pendidikan tinggi.
Seperti dikutip dari ABC News pada Senin (2/4/2018), sebenarnya, ijazah sekolah menengah pertama yang dimilikinya, cukup untuk menjadi seorang guru sekolah dasar di desanya, di bagian tengah Afganistan. Namun, ia menginginkan lebih dari itu.
Pada 15 Maret lalu, Jahantap -- dengan dukungan besar dari suaminya -- berangkat ke ibu kota Provinsi Daikundi, Nili, untuk mengikuti ujian masuk universitas. Butuh waktu hingga dua jam berjalan kaki menuju terminal bus terdekat, melewati jalanan tandus yang berbatu.
Advertisement
Jahantap melakukan hal itu di bawah terik matahari, seraya menggendong anak bungsunya yang masih berusia di bawah satu tahun.
Setelahnya, ia pun harus kembali menahan pegal, duduk berdesak-desakan selama 10 jam di dalam sebuah bus reyot.
Begitu tiba di Nili, dia mengikuti seluruh tahapan ujian, dan berhasil meraih peringkat 152 dari 200 orang yang diterima.
Namun, karena skema biaya kuliah yang tinggi, dan ketidaktahuannya tentang syarat pengajuan beasiswa, Jahanap pun memutuskan untuk berlapang dada, mengubur kembali cita-cita untuk belajar di perguruan tinggi.
Baca Juga
Meski begitu sebuah foto yang diunggah ke Facebook, mengubah kisah sedih tersebut. Foto itu memperlihatkan Jahantap duduk bersila mengerjakan tes, seraya memangku bayinya yang tengah tidur terlelap.
Pemandangan tersebut dipotret oleh seorang guru di Nili, yang tersentuh dengan perjuangan Jahantap. Ia mengunggah foto tersebut ke Facebook, dan menjadi viral di kalangan warganet Afganistan dalam waktu cepat.
Salah satu pihak yang bersimpati terhadap foto tersebut adalah Zahra Yagana, seorang wanita yang menjalankan organisasi non-pemerintah di bidang hukum dan sosial.
Ia mengupayakan Jahantap diterima berkuliah secara gratis di sebuah universitas di ibukota Afghanistan, Kabul. "Ketika saya melihat gambar Jahantap di Facebook, saya sangat terkesan," kata Yagana.
"Segera, keesokan harinya saya menulis cerita tentang dia (Jahantap), dan saya pikir harus ada satu hal penting dilakukan untuknya, yakni membantu mewujudkan impian pendidikannya. Dia menginspirasi saya," lanjutnya.
Yagana pun mengajukan isu tersebut ke pemerintah, dan berhasil meluluhkan hati Wakil Presiden Afghanistan, Sarwar Danish, dan penasihat senior kepresidenan, Farkhunda Zahra Naderi.
Keduanya berjanji mendukung penuh terwujudnya mimpi Jahantap untuk duduk di bangku salah satu perguruan tinggi terbaik di Afganistan. Naderi akan membayar biaya pendidikan hingga empat tahun kuliah. Sementara Danish, berjanji membiayai sewa rumah Jahantap berserta keluarganya di Kabul.
"Mereka mengatakan bahwa Jahantap adalah simbol untuk wanita dan pendidikan," kata Yagana.
Simak video pilihan berikut:
Dinilai Sebagai Sosok Inspiratif
Di sebuah negara yang konservatif dan patriarkal seperti Afghanistan, ketika Jahantap berkuliah, maka sang suami, Musa Mohammadi, akan terlihat sebagai sebuah anomali.
Namun anggapan konservatif tersebut tidak dipedulikan oleh Mohammadi, yang mengaku bahwa ia bangga melihat istrinya mampu meraih apa yang diimpikannya.
"Saya sangat bangga dengan istri saya," kata Mohammadi, yang tidak pernah bersekolah.
"Saya melihat rambu di jalan dan saya tidak bisa membacanya. Saya pergi ke apotek untuk mendapatkan obat, tetapi aku saya bisa membaca nama pil itu. Ini sangat sulit, dan saya tidak ingin istri adan anak-anak mengalami nasib serupa," lanjutnya.
Sebelum mengikuti ujian masuk perguruan tinggi pada Maret lalu, Mohammadi menyebut istrinya rutin mengajar baca dan tulis kepada anak-anak kecil di desanya. Hal itu dilakukan sang istri di tengah lapangan terbuka.
Bahkan ketika menikah, Jahantap diketahui membeli cukup banyak pena dan buku tulis, dan digunakan untuk memberi pengajaran dasar pada anak-anak di keluarga suaminya, yang kebanyakan belum pernah sekolah.
"Jahantap telah memberi cahaya kepada para wanita di desa kami," kata pamannya, Mohammad Reza Hesani.
"Kami menghormatinya. Sekarang, istri saya sangat tertarik pergi ke sekolah, setelah melihat sepak terjang Jahantap,” lanjutnya.
Sementara itu, hampir 17 tahun setelah tergulingnya pemerintah Taliban, yang melarang pendidikan bagi wanita, sebanyak enam juta anak-anak mulai mendapat kesempatan belajar di sekolah.
Meski begitu, jumlah pelajar putri hanya sepertiga dari jumlah di atas, yang menandakan bahwa masih banyak kaum hawa kesulitan meraih akses pendidikan.
Advertisement