Sukses

Kisah Lokasi Jatuhnya Tiangong-1, 'Kuburan' Satelit di Samudra Pasifik

Bagian dari Tiangong-1 dinyatakan jatuh tidak jauh dari "pemakaman pesawat ruang angkasa" di Samudra Pasifik.

Liputan6.com, Beijing - Tak jauh dari Australia, ada sebuah tempat yang disebut sebagai "kuburan pesawat ruang angkasa". Pemakaman ini dikenal sebagai Titik Nemo (Point Nemo), tempat terpencil di Bumi. Di situlah, bangkai-bangkai satelit banyak ditemukan, termasuk Tiangong-1.

Stasiun angkasa luar buatan China itu kembali lagi ke Bumi dan dinyatakan jatuh di Samudra Pasifik pada Senin, 2 April 2018 pukul 10.16 AEST atau sekitar 07.16 WIB.

Para pejabat menjelaskan, Senin pagi waktu setempat, sebagian besar Tiangong-1 terbakar saat masuk kembali ke atmosfer Bumi dan mendarat di Pasifik Selatan.

Jonathan McDowell, seorang astronom dari Harvard-Smithsonian Centre for Astrophysics menyatakan bahwa wahana antariksa berbobot 8,5 ton ini jatuh di laut barat laut Tahiti, pulau terbesar di Polinesia Prancis, Kepulauan Pasifik Selatan.

"Tiangong-1 berakhir di 'pemakaman pesawat ruang angkasa' yang berada di selatan," katanya, seperti dikutip dari News.com.au, Senin 2 April 2018.

Kuburan yang ia maksud adalah hamparan laut terpencil yang sering digunakan untuk mematikan satelit yang rusak. Para ahli menyebutnya sebagai Point Nemo, tempat terpencil di Bumi sekaligus makam bagi ratusan pesawat ruang angkasa.

Sekitar 2400 km dari titik mana pun, Point Nemo terletak cukup jauh dari peradaban manusia, menurut NASA. Itulah mengapa, banyak lembaga antariksa di seluruh dunia menggunakannya sebagai tempat pembuangan pesawat ruang angkasa dan satelit yang pernah mengorbit.

Jika semua berjalan sesuai rencana, pada 2024 Tiangong-1 akan "beristirahat" sekitar 4 km di bawah gelombang laut, dekat dengan para pendahulunya.

Kisaran 1971 dan pertengahan 2016, badan antariksa di seluruh dunia telah membuang sekitar 260 hingga 300 pesawat ruang angkasa di Point Nemo.

"Akhir-akhir ini, tempat tersebut secara rutin kerap digunakan oleh kapsul Progress (pesawat ruang angkasa milik Rusia), yang bolak-balik ke International Space Station,” ujar ahli puing-puing ruang angkasa European Space Agency, Stijn Lemmens, kepada AFP.

Meski demikian, tidak semua pesawat angkasa luar berakhir di "kuburan air", yang berada di hamparan luas Samudra Pasifik Selatan itu. Banyak satelit -- yang berukuran lebih kecil -- jatuh di tempat lain karena panas dari gesekan udara membakar badan satelit, ketika jatuh ke Bumi dalam kecepatan ribuan kilometer per jam.

Baik NASA maupun ESA, misalnya, kini telah beralih dari titanium ke aluminium dalam pembuatan tangki bahan bakar satelit dan pesawat luar angkasa. Pasalnya, di masa depan, sebagian besar pesawat ruang angkasa dirancang untuk melakukan "bunuh diri".

Material mereka akan meleleh pada suhu yang lebih rendah, sehingga kemungkinan untuk bertahan hidup ketika masuk kembali Bumi sangat kecil.

2 dari 2 halaman

Penjelasan LAPAN

Dengan data terbaru berikut ini, lintasan terakhir Tiangong-1 terlihat melewati Samudera Atlantik, Afrika, Asia, dan berakhir di Samudera Pasifik. Tiangong-1 tidak melewati Indonesia.

Prakiraan lintasan terakhir Tiangong-1 pada 2 April 2018 mulai pukul 07:37 hingga 08:57 WIB. Tanda panah menunjukkan prakiraan lokasi benda saat ketinggiannya 10 km dari permukaan Bumi. (Space-track/LAPAN)

Menjelang jatuhnya dalam sebulan terakhir, Tiangong-1 mengalami penurunan ketinggian rata-rata sebesar 3.2 km/hari. Jika ketinggiannnya mencapai 120 km, maka ia dianggap mengalami atmospheric reentry, sehingga secara cepat akan jatuh menuju permukaan Bumi.

Panas dan tekanan yang dialami setelah reentry akan mengakibatkan Tiangong-1 pecah. Serpihannya (jika tidak habis terbakar) akan menyebar pada area yang panjangnya bisa mencapai ribuan kilometer dengan lebar puluhan kilometer di permukaan Bumi.

Dengan demikian, Indonesia dinyatakan aman dari kejatuhan Tiangong-1.

Video Terkini