Sukses

Pilpres Venezuela Dibayangi Bencana Kelaparan

Menjelang pemilu Presiden yang jatuh pada Mei 2018, rakyat Venezuela dihantui krisis pangan.

Liputan6.com, Caracas - Kepala keamanan dari kandidat presiden oposisi, Henri Falcon, diserang saat acara kampanye Pemilu Venezuela. Ia terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka parah di bagian kepala.

Falcon menuding serangan ini dilakukan oleh orang-orang Presiden Venezuela, Nicolas Maduro.

Akhir-akhir ini, ketegangan mulai terjadi di Venezuela menjelang pemilu 20 Mei. Venezuela sebelumnya telah beberapa kali mengganti jadwal pelaksanaan pemilu, yang seharusnya diadakan Desember 2018, kemudian dimajukan pada 22 April 2018. Hingga akhirnya dipilih Mei 2018.

Banyak pihak menganggap jadwal pemilu yang berubah-ubah karena tidak transparannya pemerintah. Seruan serupa juga datang dari Falcon, sosok kontroversial yang membenci kepemimpinan Nicolas Maduro.

"Memilih untuk bertarung meskipun aturan tidak adil. Ini menegaskan keinginan kami untuk membela hak-hak kami," kata Falcon, dikutip dari Miami Herald.

Komunitas internasional dan koalisi partai-partai oposisi mengatakan, sistem Pemilu Venezuela telah lama dicurangi.

"Sejarah mencatat pemberontakan populer, seperti yang dilakukan terhadap Shah Iran, gerakan militer, kudeta dan pemilu adalah satu-satunya cara untuk menyingkirkan pemerintahan yang buruk," ujar Falcon.

Kematian Presiden Hugo Chavez

Krisis ekonomi parah melanda Venezuela setelah kematian Presiden Hugo Chavez, akibat kanker pada usia 58 tahun, 5 Maret 2013. Tongkat kekuasan diambil alih Nicolas Maduro, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden.

Sejak dulu Chavez memfokuskan semua sumber daya di dalam negeri pada satu hal, yaitu memproduksi minyak. Artinya semua yang dikonsumsi di dalam negeri, selain minyak, harus diimpor. Hal ini membuat Venezuela menumpuk utang produksi.

Pendapatan ekspor Venezuela paling banyak disumbang dari minyak, yaitu sebanyak 95 persen. Saat harga minyak turun, Venezuela kekurangan pemasukan. Pemerintah pun merespons dengan memangkas impor untuk kebutuhan pokok, seperti sayuran dan kebutuhan medis, demi menghindari kebangkrutan akibat utang luar negeri.

Venezuela juga mulai mencetak uang lebih banyak, sehingga menyebabkan inflasi parah. Ekonomi yang terjun bebas ini telah memperburuk masalah sosial di negara itu.

Rakyat yang kelaparan akhirnya mulai menjarah toko, membunuh hewan ternak untuk dikonsumsi. Kekerasan dan antrean panjang orang meminta makan menjadi pemandangan di perkotaan.

Tahun lalu hampir 7,2 juta rakyat Venezuela ikut serta dalam referendum yang digelar partai oposisi. Lebih dari 98 persen pemilih menolak majelis konsitutisonal, meminta militer mempertahankan konstitusi, dan mendukung pemilihan umum sebelum masa jabatan Maduro berakhir pada 2019.

Pemerintah menganggap referendum itu sebagai sesuatu yang ilegal. Ketidakpercayaan rakyat Venezuela kepada pemerintah menimbulkan kerusuhan di sejumlah tempat.

Redenominasi Mata Uang Bolivar

Minggu lalu, analisis keuangan menganggap skeptis rencana Maduro yang ingin memangkas tiga digit angka nol dari mata uang bolivar atau dikenal dengan istilah redenominasi, dilansir dari Washington Post.

Menghadapi krisis ekonomi parah, Falcon memiliki pendapat lebih radikal, ia ingin Venezuela mengikuti langkah Ekuador dan Panama menggunakan dollar AS sebagai transaksi ekonomi. Dengan begitu, maka Venezuela tidak perlu mencetak uang baru. Sebab mencetak uang baru bisa berdampak kepada inflasi.

Rencananya ini akan berlaku mulai 2 Juni, bolivar baru dengan denominasi lebih rendah akan diedarkan. Meskipun demikian, mata uang yang lama, dengan denominasi tertinggi 100.000 bolivar tetap akan berlaku.

 

Reporter: Farah Fuadona

Sumber: Merdeka.com