Sukses

3 Kota dengan Ciri Khas Paling Unik di Dunia

Berikut, 3 kota paling unik di penjuru dunia yang -- terlepas dari keunikannya -- tetap diisi oleh manusia

Liputan6.com, Jakarta - Setiap kota di berbagai negara tentunya punya ciri khas masing-masing.

Ciri khasnya beragam, mulai dari landmark atau cagar kota, tempat wisata, penduduk, gaya hidup para warga, dan lain-lain.

Dari yang unik hingga mengagumkan, semua ciri khas itu pasti jadi kebanggaan bagi para penduduk masing-masing.

Berikut, 3 kota paling unik di penjuru dunia yang -- terlepas dari keunikannya -- tetap diisi oleh manusia, seperti dilansir dari Cracked.com (8/4/2018).

 

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 4 halaman

1. Manshiyat Naser, Mesir

Manshiyat Naser adalah kota dengan angka pengangguran nol, perumahan yang sangat murah dan penduduk yang kebanyakan menggambarkan diri mereka sebagai orang yang "sangat bahagia."

Semua penduduknya tak menganggur, memiliki pekerjaan, dan berbahagia karena berpenghasilan, yakni, dengan mengolah sampah dalam jumlah besar

Manshiyat Naser, yang terletak tepat di dekat Kairo -- salah satu kota terbesar di Mesir -- adalah tempat Ibu Kota membuang semua sampahnya.

Warga Manshiyat Naser secara harafiah hidup dan mencari nafkah dari sampah. Mereka mengumpulkannya dari penduduk Kairo, menyortirnya, dan mendaur ulang semua sampah berharga untuk diri mereka sendiri -- mulai dari besi tua hingga elektronik cadangan.

Uang hasil sampah yang dijual, tentunya, masuk ke dalam kas masing-masing rumah tangga di Manshiyat Naser. Sementara, sampah yang masih memiliki nilai fungsi, didaur ulang dan dimanfaatkan kembali menjadi furnitur hingga alat-alat rumah tangga.

3 dari 4 halaman

2. Miyake Jima, Jepang

Pulau Miyake Jima di Jepang merupakan pulau yang terbentuk dari bekuan material vulkanis sebuah gunung berapi.

Parahnya, gunung berapi itu -- bernama Gunung Miyake Jima -- masih berstatus aktif dan terletak di bawah material yang membeku itu.

Setiap harinya, Gunung Miya Kejima memuntahkan abu dan gas vulkanis yang mengandung sulfur.

Dan ya, orang-orang masih tinggal di sana sepanjang waktu, bahkan pada saat-saat ketika udara di sana tak layak untuk dihirup.

Salah satu persyaratan utama bagi para warga yang tinggal di sana adalah memiliki, membawa, dan siap sedia mengenakan masker gas. Karena setiap saat, sewaktu-waktu, sirene di pulau itu seringkali berbunyi dan menjadi penanda terjadinya penignkatan konsentrasi gas sulfur beracun yang fatal.

Jadi mengapa orang masih tinggal di sana?

Untuk sains.

Atau, tepatnya, demi uang. Karena, Pemerintah Jepang memberi setiap penduduk gaji tahunan bagi mereka hanya untuk tinggal di Miyake Jima.

Pemerintah Jepang sering melakukan riset untuk menguji efek paparan gas sulfat konstan pada populasi yang stabil. Itulah sebabnya pendudu Miyake Jima tetap bertahan di tempat mereka.

Maka, jika suatu masa Anda orang asing, terdampar di Miya Kejima, pastikan ada masker gas dalam perlengkapan darurat Anda. Jika tidak, lebih baik Anda menghindar dan berenang menjauh dari pulau/gunung berapi aktif tersebut.

4 dari 4 halaman

3. Kingdom of the Little People, China

Meski lebih tepat disebut sebagai taman rekreasional, Kingdom of the Little People di Yunnan, China menyerupai kota yang berfungsi seperti pada umumnya. Di dalamnya terdapat orang yang berperan sebagai warga, pemerintah, dan institusi sosial-politik-hukum pendukung lainnya.

Tapi, 'penduduk' yang mengisi 'kerajaan' itu adalah orang-orang dwarfisme, dan khusus bagi mereka saja.

Pendiri kota itu adalah seorang pengusaha bernama Chen Mingjing. Suatu hari, terbesit ide bahwa ia ingin memberi orang-orang dwarfisme tempat di mana mereka dapat bergabung bersama untuk menghindari perundungan yang mereka alami di masyarakat.

Chen Mingjing pun mendrikan Kingdom of the Little People, untuk membantu orang-orang dwarfisme di China memperoleh pekerjaan, terutama di sektor hiburan dan rekreasi.

Taman itu menampilkan orang dwarfisme dalam beragam pertunjukan harian dan musiman -- seperti pada taman rekreasional pada umumnya. Mereka pun diberi upah bulanan rutin selama 'tinggal' alias bekerja di Kingdom.

Akan tetapi, eksistensi taman itu menuai kritik dari berbagai lembaga dan organisasi pegiat HAM bagi orang-orang dwarfisme, seperti Little People of America dan Handicap International. Kedua organisasi itu menyebut tempat tersebut seperti 'kebun binatang yang berisi orang-orang dwarfisme' karena memperlakukan mereka sebagai objek wisata, bukan sebagai manusia.

Namun, sejumlah orang dwarfisme di Kingdom merasa tak demikian. Beberapa justru bersyukur, dengan berada di taman hiburan itu, mereka dapat memperoleh upah dan penghasilan mandiri -- tak seperti di komunitas masyarakat pada umumnya.