Liputan6.com, Tokyo - Selama 20 tahun, ayah dari Jepang ini menyimpan rahasia besar di sebuah kurungan kecil. Yakni, dia mengurung anaknya yang diduga mengalami masalah kejiwaan.
Namun, sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tercium juga. Polisi mengetahui rahasia sang ayah dan kemudian menangkapnya.
Baca Juga
Yoshitane Yamasaki, mengatakan alasan mengurung anaknya (sekarang berusia 42 tahun), karena dia menderita kelainan jiwa dan kerap berbuat kekerasan. Demikian pernyataan si ayah yang dibacakan polisi seperti dikutip NHK.
Advertisement
Dikutip dari BBC pada Senin (8/4/2018), kurungan yang digunakan berukuran 1 meter tingginya dengan lebar kurang dari 2 meter.
Sang ayah mengatakan dia memberinya putranya makan dan memandikannya dua hari sekali.
Kurungan itu terletak dalam sebuah gubuk di samping rumah Yamasaki di Sanda, Jepang.
Anaknya yang malang mengeluh punggungnya sakit dan kini diurus oleh pihak pemerintah.
Laporan tentang keberadaan kurungan itu terjadi pada Januari lalu. Namun, setelah diinvestigasi lebih lanjut, ternyata Yamasaki telah mengurung putranya selama 20 tahun.
Para penyidik Jepang percaya Yamasaki mulai mengurung anaknya di usia 16 tahun.
Untuk sementara waktu, polisi Jepang hanya menahan pensiunan berusia 73 tahun itu karena mengurung anaknya selama 36 jam pada 18 Januari.
Stigma Orang Difabel di Jepang
Jepang terkenal dengan hukum euganika yang diterapkan pasca-Perang Dunia II. Euganika adalah sebuah filosofi sosial yang berarti memperbaiki ras manusia dengan membuang orang-orang berpenyakit dan cacat serta memperbanyak individu sehat.
Pada abad ke-20, banyak negara, termasuk Jepang melakukan berbagai kebijakan eugenika dengan berbagai kebijakan seperti pemaksaan aborsi, genosida, pengendalian kelahiran, pengamatan genetika, dan pelarangan menikah.
Puncak dari penyalahgunaan eugenika adalah pelaksanaan ideologi pemurnian ras yang dijalankan rezim NSDAP di bawah kendali pemimpinnya, Adolf Hitler.
Undang-undang tersebut memaksa orang Jepang yang memiliki masalah jiwa harus disteril.
Namun, UU itu telah dihapus tahun 1996. Namun, stigma cacat mental masih menghantui Jepang hingga sekarang.
Pada Juli 2016, 19 orang ditikam hingga mati di sebuah rumah bagi orang-orang cacat di Sagamihara, barat daya Tokyo. Mantan karyawan yang dituduh melakukan pembantaian itu sebelumnya menulis tentang memimpikan dunia dengan orang-orang disabilitas bisa dimatikan.
"Kejadian Juli 2016 merupakan kejutan besar bagi orang Jepang, terutama orang-orang cacat dan keluarga mereka," Yoko Matsubara, seorang profesor bioetika di Universitas Ritsumeikan.
"Peristiwa itu adalah peringatan bagi kami untuk menyadari bahwa stigmatisasi disabilitas masih ada bersama kami."
Advertisement