Sukses

Tarantula Goreng Bawang Putih Jadi Penganan Lezat di Kamboja, Berani Coba?

Dengan minyak goreng panas, tarantula yang sudah dibersihkan ini digoreng hingga garing dan diberi bawang putih.

Liputan6.com, Phnom Penh - Apa yang ada di pikiran Anda ketika mendengar kata tarantula? Kebanyakan dari Anda tentu menilai jika hewan yang satu ini sangat mematikan. Sebab, laba-laba yang masuk pada kategori famili Theraphosidae ini punya racun mematikan.

Namun di Kamboja, tarantula bukanlah hewan yang menakutkan, justru dijadikan sebagai penganan yang lezat. Menu tarantula goreng bawang putih adalah dambaan para warga lokal.

Dengan minyak goreng panas, tarantula yang sudah dibersihkan ini digoreng hingga garing dan diberi bawang putih. Warga lokal menyebut jika tarantula ini mirip daging kepiting.

Akan tetapi, keberadaan tarantula dikhawatirkan akan lenyap. Sebab, terjadi banyak kasus penebangan hutan secara liar yang terjadi di negara itu. Praktiknya pun semakin tak terkendali, demikian dikutip dari laman Freemalaysiatoday.com, Senin (9/4/2018).

Salah satu wilayah di Kamboja yang menjajakan penganan ekstrem ini adalah wilayah Skun. Daerah ini kerap dijuluki sebagai "Spiderville" oleh para turis.

Sebab, tak hanya mencoba rasa tarantula goreng, mereka juga dapat menyaksikan secara langsung pembuatannya.

Sebagian besar pelanggan yang gemar membeli tarantula goreng adalah warga lokal. Di Kamboja, nama camilan ini disebut sebagai aping. Karena pasokan tarantula yang menurun, harga makanan ini semakin mahal.

"Aping sangat terkenal di Kamboja. Tetapi jumlahnya tidak sebanyak dulu. Sebab, tarantula kini semakin sulit ditemui," ujar Chae Voeun, seorang penjual tarantula goreng.

Tak hanya menjual tarantula goreng, Voeun juga menjual beberapa serangga lainnya, seperti jangkrik dan kalajengking. Voeun sudah menjual tarantula goreng sejak 20 tahun lalu, sehingga ia mengetahui persis bagaimana proses kelangkaan terjadi.

Harga tarantula disebutkan terus melonjak dari tahun ke tahun. Kini, masyarakat dikenakan biaya US$ 1 atau setara dengan Rp 13.700 untuk satu ekornya.

Harga ini disebutkan naik 10 kali lipat selama satu dekade terakhir. Kendati demikian, masih banyak warga yang membeli makanan ini.

2 dari 2 halaman

3 Spesies Tarantula Pemakan Burung

Bicara soal tarantula, biasanya hewan yang satu ini doyan makan serangga kecil. Namun, pada tahun 2017 para ilmuan telah mengindentifikasi tiga spesies baru tarantula pemakan burung yang tinggal di hutan Peru, Ekuador, dan Brasil.

Penemuan tersebut merupakan hasil studi yang dilakukan Caroline Sayuri Fukushima. Penelitiannya yang dilakukan di Instituto Butanan, Sao Paulo, mencoba mengurai benang kusut yang telah terjadi selama seratus tahun dalam klasifikasi ilmiah.

Fukushima mengatakan, tiga tarantula baru itu sebelumnya tak diketahui keberadaannya karena terdapat "kekacauan besar" dalam klasifikasi hewan tersebut. Ia dan rekan kerjanya pun menyortir genus tarantula itu, yang pertama kali dideskripsikan pada 1818.

Mereka mengerucutkan jumlah spesies dari 50 lebih hingga tersisa 12, termasuk tiga spesies avicularia baru yang belum dicatat sebelumnya.

Proyek yang dilakukan selama beberapa tahun itu, melacak spesimen kuno dari museum di seluruh dunia. Mereka juga harus menerjemahkan deskripsi asli yang berasal dari bahasa Latin, Prancis, Belanda, Portugis, dan Jerman.

Mereka kemudian membandingkan ciri-ciri anatomi berdasarkan deksripsi tersebut dengan laba-laba yang ada di kebun binatang dan museum.

Tiga tarantula yang mereka identifikasi memiliki panjang 10 hingga 17 sentimeter, hidup di pohon, dan memangsa serangga, kelelawar, serta burung kecil.

Dikutip dari The Telegraph, salah satu tarantula pemakan burung tersebut, A. caei, hanya ditemukan di Brasil. Satu lainnya, A. lynnae, dapat ditemukan di Ekuador dan Peru.

Tarantula ketiga, A. merianae, yang ditemukan di Peru, namanya diambil dari naturalis Jerman Maria Sybilla Merian. Hal itu merupakan bentuk penghormatan kepadanya yang telah menggambar sebuah ilustrasi terkenal tarantula Avicularia pemakan burung pada 1705.

"Ilustrasi ini memberikan asal nama genus dan nama populer laba-laba pemakan burung," ujar Fukushima kepada Live Science.

"Orang-orang pada waktu itu tidak percaya pada pengamatan yang dilakukannya, dengan mengatakan laba-laba pemakan burung hanyalah imajinasi perempuan. Sekarang kita tahu bahwa ia benar," jelas Fukushima.

Laba-laba dengan spesies Avicularia pertama kali dideskripsikan pada 1758 oleh Carl Linnaeus, bapak taksonomi modern.

Pada 1818, naturalis Prancis Jean-baptiste Lamarck merupakan orang pertama yang mendeskripsikan Aviculariaas sebagai genus. Ia pun memasukkan tiga spesies ke dalam pengelompokannya tersebut.

Video Terkini