Liputan6.com, Jakarta - Kedatangan perahu-perahu pengungsi Rohingya dari Myanmar ke Malaysia dan Indonesia menjadi suatu tanda yang mengkhawatirkan, terhadap kemungkinan berlanjutnya dampak persekusi di Rakhine ke negara-negara di kawasan. Demikian diingatkan oleh ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR).
Segera setelah melihat perkembangan terakhir, himpunan para pembuat kebijakan di kawasan tersebut mengulangi seruannya bagi para pemimpin ASEAN untuk segera membicarakan berbagai akar penyebab krisis tersebut, yang sejauh ini telah mengusir ratusan hingga ribuan orang Rohingya keluar dari Myanmar.
Baca Juga
"Perahu-perahu ini merupakan tanda peringatan. Kondisi orang Rohingya di Myanmar terus memburuk dan kenyataan bahwa mereka memilih pergi lewat laut kembali menunjukkan kegagalan yang berkelanjutan dari pemerintah di sana dan anggota-anggota ASEAN lain untuk membicarakan penyebab mendasar krisis tersebut," kata Wakil Ketua APHR sekaligus anggota parlemen dari Indonesia, Eva Kusuma Sundari dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Rabu (11/4/2018).
Advertisement
Pada 3 April, sebuah perahu membawa hampir 60 orang Rohingya sampai di Malaysia setelah berhenti sebentar di Thailand untuk mendapat makanan dan bahan bakar. Beberapa hari kemudian pada 6 April, sejumlah nelayan Indonesia menolong sebuah perahu mengangkut lima orang Rohingya di lepas pantai Aceh.
Dilaporkan bahwa mereka awalnya berangkat dengan lima orang Rohingya lain, namun kelimanya mati kelaparan di tengah laut. Kedua kelompok di Malaysia dan Indonesia kemudian diserahkan kepada pihak imigrasi.
Sejauh ini badan PBB untuk urusan pengungsi (UNCHR) telah memperingatkan bahwa banyak perahu mungkin terlunta-lunta di laut.
"Selama bertahun-tahun, ASEAN sebagai sebuah blok regional telah berulang kali memperingatkan berbagai potensi akibat dari tidak adanya tindakan. Kejadian-kejadian yang kita lihat terjadi ini dapat menjadi awal gelombang lain pengungsi Rohingya yang pergi meninggalkan negaranya lewat laut akibat persekusi yang disponsori negara dan ASEAN tidak boleh menunggu hingga ini terwujud sebelum menangani akar permasalahan," ujar politisi PDI Perjuangan tersebut.
Pada Mei 2015, ribuan orang Rohingya -- melarikan diri dari persekusi yang disponsori negara di Myanmar -- terlunta-lunta di laut sementara beberapa negara ASEAN menjalankan kebijakan mendorong perahu-perahu kembali ke laut setelah ditemukannya kuburan massal korban perdagangan manusia Rohingya di Thailand.
Setelah ada tindakan tegas pada jalur-jalur penyelundupan, jumlah perahu yang keluar dari negara bagian Rakhine turun drastis, tetapi kedatangan terbaru para pengungsi mengindikasikan bahwa hal tersebut bisa berubah.
Â
Â
Saksikan juga video berikut:
Menampung Pengungsi Keputusan Penting
Para anggota parlemen di kawasan mengatakan bahwa keputusan menampung para pengungsi sekarang merupakan langkah penting, ketimbang memaksa mereka kembali ke laut sebagaimana yang terjadi pada tahun 2015. Para pembentuk kebiajakan itu juga mendesak pemerintah-pemerintah di kawasan untuk menempuh langkah lebih guna melindungi para pengungsi dan membantu menyelesaikan keadaan yang membuat mereka memutuskan untuk pergi.
"Kami berharap pihak-pihak berwenang akan terus menerima pengungsi, jika lebih banyak yang berdatangan, dan memastikan bahwa hak-hak dasar para pengungsi dilindungi secara memadai di negara-negara itu," kata Ketua APHR, Charles Santiago.
"Untuk mencegah terjadinya kematian yang tidak perlu, pemerintah-pemerintah di kawasan perlu menerjunkan lebih banyak operasi pencarian dan penyelamatan sebagai tanggapan segera dan darurat untuk setiap orang Rohingya yang mengalami bahaya di laut. Para pemimpin juga harus mengambil tindakan dan mengupayakan perlindungan yang lebih baik bagi para pengungsi di negara mereka juga di kawasan secara keseluruhan," lanjut anggota parlemen Malaysia itu.
Meskipun perhatian dan keprihatinan internasional meningkat, seruan agar ASEAN mengambil langkah konkret untuk menyelesaikan krisis Rohingya sebagian besar tidak didengar. Lebih dari itu, perhimpunan tersebut masih kekurangan kerangka kerja kawasan yang dapat memberi suatu tanggapan komprehensif dan berjangka panjang bagi kebutuhan para pengungsi.
Dari sepuluh negara anggotanya, hanya Kamboja dan Filipina yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951 dan protokol tentang pengungsi tahun 1967.
"Implikasi-implikasi dari berbagai gelombang besar kedatangan pengungsi Rohingya bagi kawasan ini jelas dan tanpa tindakan nyata krisis ini tentu akan memburuk. Para pemimpin ASEAN harus menyadari bahwa terus menerus berdiam diri hanya akan memperdalam krisis dan mengancam stabilitas dan kemakmuran kawasan," ujar Anggota Dewan APHR, anggota parlemen Filipina Teddy Baguilat.
"Jika ASEAN serius untuk menyelesaikan masalah ini, para pemimpin di kawasan harus berhenti bersembunyi di balik prinsip non-intervensi dan bekerja menangani akar permasalahan krisis."
Advertisement