Liputan6.com, Damaskus - Komando Angkatan Bersenjata Suriah pada hari Sabtu, 14 April 2018 mengumumkan, kelompok militan terakhir telah meninggalkan benteng pertahanan mereka di Douma.
"Seluruh teroris telah meninggalkan kota Douma, benteng terakhir mereka di Ghouta timur," demikian bunyi pernyataan Komando Angkatan Bersenjata Suriah seperti dikutip Alarabiya.net, Minggu (15/4/2018).
Pada hari Minggu, kelompok pemberontak Jaish al-Islam, yang menguasai kota itu dilaporkan telah mencapai kesepakatan dengan pemerintah Suriah dan sekutu militernya, Rusia, untuk meninggalkan wilayah tersebut.
Advertisement
Bus-bus yang membawa pemberontak dan keluarga mereka serta warga sipil yang tidak ingin tinggal di Douma dikabarkan telah meninggalkan kota dalam sejumlah kelompok selama beberapa hari terakhir. Mereka menuju ke daerah-daerah yang dikuasai oposisi di Suriah utara, dekat perbatasan dengan Turki.
Baca Juga
Pasukan pemerintah Suriah melancarkan serangan terhadap Ghouta timur pada Februari 2018. Mereka didukung persenjataan Rusia.
Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, kelompok pemantau perang yang berbasis di Inggris, mengatakan serangan itu menewaskan lebih dari 1.600 warga sipil.
Penaklukan Douma dinilai telah menunjukkan peran vital Rusia dalam membantu Suriah menuju level tak tergoyahkan selama perang saudara yang telah berlangsung tujuh tahun.
Serangan Amerika Serikat ke Suriah
Jatuhnya Ghouta timur ke rezim Bashar al-Assad terjadi usai operasi militer gabungan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis ke Suriah. Serangan ini merupakan respons atas dugaan serangan senjata kimia di Douma pada 7 April. Barat mengklaim, Suriah mendalangi serangan senjata kimia tersebut. Sumber dari oposisi menyebutkan, serangan senjata kimia itu menewaskan lebih dari 40 orang dan mengenai ratusan lainnya.
Indikasi serangan terhadap Suriah telah ditunjukkan Donald Trump sejak beberapa hari lalu. Orang nomor satu di Amerika Serikat itu mengecam Assad atas dugaan serangan senjata kimia di Douma. Dalam sebuah twit, ia menjuluki Assad, "Gas Killing Animal".
Pernyataan-pernyataan keras Donald Trump dan kegagalan Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi pasca-insiden tersebut dikabarkan memicu ketakutan yang tersebar luas di kalangan pendukung Assad bahwa Amerika Serikat akan melancarkan intervensi besar. Mereka khawatir intervensi tersebut akan membalikkan prestasi militer Suriah dalam beberapa tahun terakhir, atau bahkan menargetkan Assad secara langsung.
Namun, yang terjadi pasca-serangan udara Amerika Serikat dan sekutunya, ratusan orang turun ke jalan-jalan di Damaskus.
"Suriah bersuka cita! Kemustahilan bagi mentalitas Eropa! Tapi di sini, di Suriah, semuanya akan baik-baik saja," ungkap jurnalis Rusia yang berada di Damaskus, Aleksandr Karchenko dalam status Facebook.
Para pendukung Assad dan militer Suriah disebut-sebut lebih melihat serangan Amerika Serikat dan sekutunya sebagai simbolis dibanding "perubahan taktik". Intervensi ini juga dinilai tidak akan mengubah momentum dukungan terhadap Assad dalam perang saudara yang telah berkecamuk tujuh tahun.
Setelah mengutuk serangan udara Amerika Serikat, Kementerian Luar Negeri Suriah merilis pernyataan yang menjanjikan, Damaskus akan terus melanjutkan kampanye militer melawan oposisi atau yang mereka sebut sebagai takfiri atau ekstremis.
"Serangan yang dipimpin Amerika Serikat, tidak akan memengaruhi tekad dan kehendak rakyat Suriah dan angkatan bersenjata untuk terus memburu sisa-sisa teroris takfiri dan membela kedaulatan Suriah," sebut pernyataan Kementerian Luar Negeri Suriah.
Advertisement