Sukses

Rusia Kembali Jadi Target Sanksi Amerika Serikat

Babak baru sanksi dikabarkan akan menargetkan sejumlah perusahaan Rusia yang membantu rezim Assad membuat dan menyebarkan senjata kimia.

Liputan6.com, Washington, DC - Amerika Serikat menyatakan akan segera menjatuhkan sanksi baru terhadap Rusia, menyusul dukungan Moskow terhadap pemerintah Suriah yang dituding Barat melancarkan serangan senjata kimia mematikan pada rakyatnya sendiri.

Babak baru sanksi dikabarkan akan menargetkan sejumlah perusahaan Rusia yang telah membantu pemerintah Bashar al-Assad membuat dan menyebarkan senjata kimia.

"Anda akan lihat bahwa sanksi terhadap Rusia akan dijatuhkan," ungkap Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley, seperti dikutip dari Washingtonpost.com, Senin (16/4/2018).

Ia menambahkan, "Menteri Keuangan Steve Mnuchin akan mengumumkannya. Dan mereka akan langsung ke perusahaan apa pun yang berurusan dengan peralatan yang terkait dengan Assad dan penggunaan senjata kimia. Saya rasa semua tahu bahwa kami mengirimkan sebuah pesan yang sangat kuat, dan kami berharap mereka mendengarkannya."

Sanksi terakhir Amerika Serikat terhadap Rusia menargetkan sejumlah individu dan entitas, termasuk oligarki Rusia yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin.

Pengumuman sanksi baru biasanya dirahasiakan dengan ketat untuk mencegah pihak terkait dengan cepat memindahkan uang mereka.

Dalam program "Face the Nation" yang ditayangkan di CBS News, Dubes Haley terang-terangan mengatakan bahwa Rusia telah memungkinkan pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia tanpa mengkhawatirkan tekanan dari PBB.

"Assad tahu bahwa Rusia menyokongnya, Assad tahu bahwa Rusia akan melindunginya dari PBB, dan Assad nekat, dia menggunakannya dengan cara yang lebih agresif. Kita harus sadar akan fakta bahwa kita tidak dapat mengizinkan bahkan penggunaan terkecil senjata kimia sekalipun," kata Haley.

Diplomat perempuan Amerika Serikat itu pun menegaskan, Donald Trump siap menyerang Suriah lagi jika penggunaan senjata kimia kembali terjadi. Namun, Haley menolak menjelaskan bagaimana Washington merespons penggunaan senjata konvensional.

"Tentu kami tahu bahwa pekerjaan kami di Suriah belum selesai. Kami tahu bahwa sekarang terserah pada Bashar al-Assad apakah dia akan menggunakan senjata kimia lagi. Presiden telah jelas mengatakan bahwa Amerika Serikat dalam posisi 'terkunci dan termuat' dan siap untuk meluncur," ujar Dubes AS itu.

Serangan senjata kimia yang menurut Barat didalangi rezim Assad diduga terjadi pada 7 April, peristiwa itu mendorong Amerika Serikat dan sekutunya meluncurkan lebih dari 100 rudal ke Suriah selama akhir pekan.

Haley merupakan salah satu suara terkuat yang menuduh Rusia memungkinkan pemerintah Suriah dalam dugaan penggunaan senjata kimia dalam perang sipil yang telah memasuki tahun ketujuh.

Selama itu pula, Rusia telah memveto setidaknya enam resolusi di Dewan Keamanan PBB mengenai senjata kimia. Veto Rusia telah menjadi salah satu gangguan dalam hubungan Washington dan Moskow. Para diplomat Barat menuduh Rusia berusaha melindungi pemerintah Assad.

 

Saksikan video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Pasukan AS Akan Tetap Berada di Suriah

Masih terkait isu Suriah, Haley juga menegaskan bahwa tidak ada rencana untuk mengurangi kehadiran pasukan Amerika Serikat di negara itu dalam waktu dekat.

Adapun dalam program "Fox News Sunday", Haley menjelaskan, penarikan pasukan akan terjadi setelah tiga tujuan tercapai, yaitu mengalahkan ISIS, memastikan bahwa senjata kimia tidak akan digunakan, dan mempertahankan kemampuan untuk mengamati Iran.

"Kita tidak akan pergi sampai kita tahu bahwa kita telah mencapai tujuan-tujuan tersebut," tegas pejabat diplomatik Amerika Serikat yang paling menonjol tersebut.

Haley, mengumumkan komitmen Donald Trump untuk tetap terlibat dalam krisis Suriah beberapa jam sebelum Presiden Prancis, Emmanuel Macron, merilis pernyataan terkait isu serupa.

"Sepuluh hari lalu Presiden Trump mengatakan bahwa Amerika Serikat akan melepaskan diri dari Suriah. Kami meyakinkannya bahwa perlu untuk tetap berada di sana dalam jangka panjang," ujar Presiden Macron pada Minggu malam.