Sukses

Tim Penyelidik Senjata Kimia Memulai Investigasi di Suriah

Penyelidikan ini dilakukan terkait dengan dugaan serangan senjata kimia yang dilaporkan terjadi pada 7 April 2018 di Douma, Suriah.

Liputan6.com, Damaskus - Tim penyelidik senjata kimia pada hari Minggu memulai investigasi atas dugaan serangan senjata kimia di Douma, Suriah, pada 7 April 2018. Peristiwa itu memicu serangan gabungan Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris terhadap instalasi militer dan pusat penelitian ilmiah Suriah.

Delegasi dari Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) tiba setelah militer negara itu mengumumkan bahwa mereka telah membebaskan wilayah Ghouta Timur dari teroris. Perang di kawasan itu berlangsung selama dua bulan dan menewaskan nyaris 2.000 warga sipil.

"Unit pasukan bersenjata kami yang berani, dan pasukan tambahan serta sekutu, menyelesaikan pembebasan Ghouta Timur, termasuk seluruh kota dan desa dari organisasi teroris bersenjata," demikian bunyi pernyataan militer Suriah, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (16/4/2018).

OPCW menegaskan akan tetap bertugas meski sempat terjadi serangan gabungan yang dikoordinasi Amerika Serikat. "Tim pencari fakta tiba di Damaskus pada hari Sabtu dan dijadwalkan berangkat ke Douma pada hari Minggu," kata Ayman Soussan, Wakil Menteri Luar Negeri Suriah.

Misi OPCW itu tiba di Douma pada hari kedelapan pasca-serangan senjata kimia, hal itu memicu kekhawatiran akan perusakan barang bukti.

OPCW datang untuk menyelidiki serangan di Douma atas undangan Suriah dan sekutu utamanya, Rusia. Kedatangan tim penyelidik diharapkan akan mencegah ancaman pembalasan oleh Barat.

 

Saksikan video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Dugaan Serangan Senjata Kimia Tewaskan 42 Orang

Dugaan serangan senjata kimia di Douma disebut-sebut bertujuan untuk menghancurkan pasukan pemberontak di Ghouta Timur, wilayah itu merupakan benteng pertahanan terakhir kelompok anti-pemerintah. Dugaan serangan senjata kimia ini mengundang kecaman keras dari para diplomat Barat dan pejabat PBB, salah satunya bahkan menggambarkannya sebagai "pemusnahan yang mengerikan".

Setidaknya 42 orang dilaporkan tewas dalam dugaan serangan senjata kimia di Douma. Peristiwa itu memfokuskan kembali perhatian global pada kekerasan yang terjadi di Suriah serta memicu serangan gabungan oleh Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris.

Namun, serangan yang dilancarkan Amerika Serikat Cs dinilai tidak banyak mengganggu rezim Bashar al-Assad atau pasukannya. Pada hari Minggu, militer Suriah dikabarkan melanjutkan pengeboman di wilayah Suriah tengah.

"Ada baiknya jika ada respons, namun tekanan harus dilanjutkan," ujar salah seorang petugas medis yang merawat korban serangan senjata kimia di Douma. Ia menambahkan, "Tidak harus secara militer, dengan pengeboman, tapi tekanan harus diteruskan sampai pembunuhan berhenti di seluruh Suriah. Pada akhirnya, semua orang menginginkan kedamaian di semua wilayah, tidak ada seorang pun yang menginginkan pembunuhan, perang, pengeboman, dan pemindahan paksa yang kami alami terus berlanjut".

Media pemerintah Suriah menggambarkan serangan Barat sebagai "agresi tripartit" -- sebuah frasa yang mengacu pada kampanye Inggris, Prancis, dan Israel melawan Mesir selama Krisis Suez tahun 1956.

Sementara itu, meski Suriah dan Rusia telah meminta investigasi dari OPCW, Washington, London, dan Paris dijadwalkan akan bertemu untuk menyerukan penyelidikan independen atas serangan kimia di Suriah. Gagasan tersebut telah lama ditentang Moskow.

Tak lama setelah dugaan serangan senjata kimia terjadi, kelompok pemberontak lokal, Jaish al-Islam, dilaporkan setuju untuk meninggalkan Ghouta Timur. Mereka keluar dari wilayah itu bersama dengan ribuan warga sipil Suriah yang dikabarkan tidak ingin hidup di bawah kekuasaan Assad. Namun, tak sedikit warga yang memutuskan tetap tinggal.