Sukses

AS Klaim Punya Bukti Terkait Serangan Senjata Kimia di Suriah

Dubes Amerika Serikat mengklaim bahwa pemerintah AS memiliki bukti kuat terkait serangan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, Suriah

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph Donovan Jr, mengklaim bahwa pemerintah AS memiliki bukti kuat terkait serangan senjata kimia di Douma, Ghouta Timur, Suriah yang terjadi pada 7 April 2018.

Bukti itu, lanjut Donovan, menjadi landasan bagi AS, Inggris, dan Prancis untuk menindak peristiwa tersebut dengan merudal fasilitas militer Presiden Bashar Al Assad di Suriah -- yang dilaksanakan pada 14 April 2018.

Donovan merujuk sejumlah foto dan video yang beredar dua pekan lalu -- ketika laporan mengenai serangan senjata kimia di Douma pertama kali mencuat -- sebagai bukti kuat. Beberapa di antara foto dan video itu diedarkan oleh organisasi paramedis White Helmets.

"Banyak sekali bukti berupa foto dan video yang menunjukkan penderitaan rakyat dan warga (atas serangan senjata kimia) di Douma," kata Dubes Donovan di Jakarta, Selasa (17/4/2018).

"Ada foto yang menunjukkan korban yang terpapar oleh senjata kimia ... Ada pula ahli medis yang merawat sejumlah pasien yang menunjukkan tanda bahwa mereka baru saja terpapar oleh sarin (komposisi senjata kimia)," lanjutnya.

Diplomat AS itu juga mengklaim menerima informasi bahwa ada helikopter buatan Rusia yang dioperasikan oleh militer pro Presiden Assad yang terbang di atas Douma ketika serangan senjata kimia itu terjadi.

Helikopter itu, lanjut Donovan, terlihat menjatuhkan sejumlah bom drum (barrel bomb) berisi zat kimia -- sebuah metode yang kerap digunakan oleh pasukan pro Assad pada serangan senjata kimia beberapa tahun silam. Seperti tahun 2017 di Khan Sheikhoun, tahun 2015 di Idlib, dan tahun 2013 di Ghouta.

Bukti tersebut, beserta rekam jejak Suriah yang kerap menggunakan senjata kimia dalam konflik, menjadi landasan bagi Amerika Serikat untuk sangat meyakini bahwa Suriah dan Rusia (sekutu Assad) mendalangi peristiwa di Douma.

"Semua itu menunjukkan bahwa kejadian tersebut bukan berita bohong. Kejadian itu, yang dilakukan oleh pemerintah Suriah kepada rakyatnya sendiri, adalah nyata," jelas Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia tersebut.

Penyelidikan Independen Masih Berlangsung

Terlepas dari klaim tersebut, saat ini, tim penyelidik independen internasional dari Organisasi untuk Larangan Senjata Kimia (OPCW) -- yang tiba di Suriah pada Sabtu, 14 April 2018 -- baru saja memulai penyelidikan atas peristiwa di Douma.

Sejatinya, tim OPCW dijadwalkan untuk masuk ke Suriah beberapa hari pasca-serangan di Douma -- yang disebut menewaskan 42 orang. Namun, berbagai laporan menyebut bahwa pemerintahan Presiden Bashar Al Assad dan sekutunya, Rusia, menghalang-halangi organisasi tersebut untuk melaksanakan penyelidikan di Suriah.

Kini, lebih dari sepekan usai peristiwa di Douma, Rusia dan Suriah telah mengizinkan tim OPCW untuk memeriksa tempat kejadian perkara. Demikian seperti dilansir BBC, 17 April 2018.

 

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 2 halaman

Bantahan Rusia dan Suriah

Di sisi lain, Rusia dan Suriah membantah mendalangi peristiwa serangan senjata kimia itu.

Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva menyebut isu serangan senjata kimia di Douma adalah kebohongan belaka dan berita palsu.

"Di wilayah Douma hanya ada satu rumah sakit. Pihak Rusia telah mengunjungi rumah sakit tersebut dan memastikan tak ada korban yang meninggal akibat senjata kimia," ujar Dubes Lyudmila pada 13 April.

"Tidak mungkin rasanya apabila kami yang selama ini membantu menjaga keamanan di Suriah justru membiarkan adanya serangan gas kimia," lanjutnya.

Kredibilitas White Helmets

Seperti dikutip dari Daily Mail, baik Suriah dan Rusia menyimpulkan bahwa peristiwa di Douma hanya fabrikasi dari White Helmets -- organisasi paramedis yang melapor serangan senjata kimia di Douma untuk pertama kali. Organisasi itu kerap dituding oleh Moskow dan Damaskus sebagai kelompok teroris. 

Kendati demikian, kredibilitas White Helmets sendiri kerap dipertanyakan oleh beberapa komunitas internasional selain Rusia dan Suriah.

Meski tak se-ekstrem kedua negara tersebut, beberapa komunitas internasional pernah menuding bahwa White Helmets kerap melaksanakan sejumlah misi propaganda untuk kepentingan pihak tertentu.