Sukses

Operasi Plastik Masuk Kategori Kekerasan Budaya terhadap Perempuan?

Aktivis di Korea Selatan mengkritik bedah kosmetik di Negeri Ginseng, menyebutnya sebagai kekerasan budaya terhadap perempuan.

Liputan6.com, Seoul - Sekelompok aktivis, akademisi, dan seniman di Korea Selatan mengutarakan kritik terhadap praktik bedah kosmetik yang marak dilakukan di Negeri Ginseng -- menyebutnya sebagai 'cambuk' kekerasan budaya terhadap perempuan.

Kritik itu diutarakan bersama oleh The Asia Institute dan Korean Peace Movement dalam forum dan pawai intelektual pada Senin, 17 April 2018 di distrik Gangnam, Seoul -- kawasan sentra budaya yang juga terkenal sebagai rumah bagi pusat industri bedah kosmetik yang menjamur.

"Masyarakat Korea telah terdistorsi oleh kesibukan bedah kosmetik ... Dan saya percaya, hal itu telah bergeser ke titik objektifikasi, bahwa perempuan hanya dilihat sebagai objek yang harus menjalani bedah demi terlihat sempurna," kata Emanuel Pastreich, kepala Asia Institute seperti dilansir The Telegraph (18/4/2018).

"Perempuan dibuat menjadi objek komersial dan komodifikasi ... Hal itu sangat asing bagi budaya tradisional Korea," lanjutnya.

Budaya tradisional Korea, lanjut Pastreich, seharusnya lebih menekankan karakterisasi individu yang berperilaku terpuji, berbakti, perhatian terhadap keluarga dan komunitas.

Tapi, semua itu tergantikan dengan budaya obsesif seseorang yang menekankan penampilan semata -- yang kini kian marak di Korea Selatan.

Seoul telah memperoleh reputasi sebagai 'ibu kota bedah kosmetik Asia', dengan lebih dari 500 klinik berpusat di Gangnam saja -- dengan hampir 1 juta prosedur dilakukan setiap tahun.

Bagi pemerintah Korea Selatan, praktik medis itu dikomodifikasikan sebagai industri pariwisata, dan berusaha untuk meningkatkan kapabilitas wilayah itu demi memenuhi kebutuhan wisatawan asing.

 

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 2 halaman

Kekerasan Budaya

Emmanuel Pastriech bersama kelompok kerja berharap untuk mulai mengubah sikap publik dan pejabat terhadap industri yang 'memangsa ketidakpercayaan diri seseorang'.

Penggunaan pisau bedah untuk mendekonstruksi fisik seseorang demi alasan kosmetika semata juga merupakan bentuk kekerasan dan degradasi terhadap perempuan, yang membuat hidup mereka lebih 'dangkal dan kurang bermuatan spiritual'.

"Praktik itu adalah kekerasan budaya terhadap perempuan dalam arti bahwa menggunakan pisau bedah adalah bentuk degradasi yang merendahkan," jelas Pastriech.

"Perempuan yang terjerumus dalam praktik itu, akibat ketidakpercayaan diri atau karena tekanan sosial, justru menjual diri mereka menjadi objek seksual," tambahnya.

Tak hanya itu, lanjut Pastriech, pemerintah yang dengan sengaja memanfaatkan praktik tersebut sebagai industri wisata, justru semakin menebalkan dampak negatif bedah kosmetik secara lebih berkesinambungan.

Kampanye menentang operasi plastik telah muncul sebagai "evolusi logis" dari gerakan MeToo baru-baru ini di Korea Selatan, kata Pastreich, yang telah membantu mengungkap laporan pelecehan seksual yang dilakukan oleh politisi, aktor, musisi, dan penulis berpengaruh.