Liputan6.com, Washington, DC - Dalam waktu kurang dari sepekan, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un akan bertatap muka dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Zona Demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua negara.
Pertemuan tersebut merupakan peristiwa penting, karena untuk pertama kalinya para pemimpin dari kedua negara bertemu sejak tahun 2007.
Konferensi Tingkat Tinggi Korea Utara dan Korea Selatan berlangsung sebelum peristiwa penting lainnya terjadi, yaitu pertemuan Kim Jong-un dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Advertisement
Kim Jong-un dan Donald Trump dikabarkan akan bertemu pada akhir Mei atau awal Juni.
Kemauan Pyongyang untuk terlibat dialog dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat kontras dengan sikap yang ditunjukkan Kim Jong-un pada tahun 2017.
Baca Juga
Sepanjang tahun 2017, Korea Utara berkoar tentang kemajuan program senjata nuklirnya, mengancam akan meluluhlantakkan Guam, dan mengklaim bahwa rudalnya bisa menghantam daratan Amerika Serikat.
Jadi, alasan apa yang sebenarnya membuat Kim Jong-un bersedia duduk bersama Korea Selatan dan Amerika Serikat? Apakah Korea Utara bernegosiasi dari posisi yang kuat atau justru sebaliknya? Seperti dikutip dari CNN, Senin (23/4/2018), berikut tiga teori yang dipaparkan para ahli:
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Perekonomian Korea Utara dalam kondisi sulit
Menurut William Brown, asisten profesor di Georgetown School of Foreign Service, ekonomi Korea Utara rentan. Hal tersebut menandai bahwa pendekatan Kim Jong-un terhadap negosiasi yang akan berlangsung datang dari posisi yang lemah.
"Kita telah menyaksikan runtuhnya perdagangan (Korea Utara) dengan China, di mana ekspor Pyongyang turun 95 persen dari tahun ke tahun, dan hanya US$ 9 juta pada bulan Februari. Impor turun sekitar sepertiga menjadi US$ 103 juta, termasuk nyaris tidak ada yang bernilai jangka panjang -- tidak ada mesin, sereal, produk minyak bumi, atau kendaraan," ungkap Brown.
Brown menyatakan bahwa data yang dibagikannya adalah resmi milik China. Mungkin tidak sepenuhnya akurat namun, Brown berpendapat, melalui data tersebut Beijing ingin banyak orang tahu bahwa Pyongyang sedang dalam masalah.
Perdagangan luar negeri Korea Utara saat ini, secara keseluruhan disebut-sebut yang terlemah sejak Perang Korea. Terlepas dari berbagai retorika, Pyongyang sangat tergantung pada impor, terutama makanan, bahan bakar, dan mesin.
Di dalam negeri Korea Utara, ekonomi menghadapi tekanan yang besar. Dolar dan renminbi beredar luas, membawa keuntungan signifikan bagi kegiatan pasar dan produktivitas sektor swasta, namun menciptakan masalah besar bagi rezim, yang mengkhawatirkan sektor swasta akan melemahkan kontrol negara.
Kondisi tersebut memicu kesulitan untuk mengendalikan kredit domestik dan inflasi, karena setiap saat orang dapat memutuskan untuk menukar won Korea Utara dengan dolar Amerika Serikat. Ini dapat memicu risiko jatuhnya won yang diatur dari luar Korea Utara.
Perekonomian yang lemah dinilai memaksa Kim Jong-un berubah, menerima tawaran bernegosiasi dengan Washington dan Seoul, bahkan bepergian naik kereta ke Beijing.
"Kita tidak tahu apa yang didiskusikan Xi Jinping dengan Kim Jong-un, tapi itu bisa saja soal bantuan pencabutan sanksi sebagai imbalan untuk negosiasi yang sungguh-sungguh," terang Brown.
"Pyongyang tahu persis bahwa China kapan saja dapat menghentikan pengiriman minyak mentah, menyebabkan inflasi melonjak. Kim Jong-un tidak bodoh untuk mengambil risiko ini, dan ia harus mau berunding".
Bagaimanapun, kemauan Kim Jong-un untk bernegosiasi membuka peluang bagi Amerika Serikat untuk menciptakan perubahan sistemik di Korea Utara.
Advertisement
2. Senjata Nuklir memberi Kim Jong-un pengaruh dan kekuatan
Jean H. Lee, direktur Hyundai Motor-Korea Foundation Center for Korean History and Public Policy berpendapat bahwa kemunculan Kim Jong-un ke panggung dunia setelah enam tahun kepemimpinannya adalah bagian dari strategi politik yang dijalankan dengan cermat dan metodis.
"Dengan program nuklirnya dan statusnya sebagai pemimpin militer yang mampu membela rakyatnya, Kim Jong-un saat ini mengalihkan perhatiannya ke hubungan internasional. Dia melangkah ke panggung dunia tidak hanya sebagai pemuda yang mewarisi kepemimpinan negara yang melarat, namun juga sebagai pemimpin yang didukung oleh program senjata nuklir yang menjadi ancaman nyata bagi keamanan global," terang Jean H. Lee.
Jean H. Lee menyatakan, Kim Jong-un percaya diri bahwa program nuklir Korea Utara akan memaksa para pemimpin asing untuk memperlakukannya dengan setara dan memberikannya tempat di meja yang sama dengan Amerika Serikat sebagai rekan, bukan underdog atau pihak yang lemah.
"Baginya (Kim Jong-un), duduk dengan Moon Jae-in, dan Trump, pemimpin negara paling kuat di dunia, akan ditandai sebagai kemenangan di kampung halamannya di Korea Utara. Baik ayahnya, Kim Jong-il atau sang kakek, Kim Il-sung, belum pernah duduk bersama dengan presiden Amerika Serikat yang menjabat," ujar Jean H. Lee.
"Tentu saja, posisi kuat ini, merupakan propaganda di kampung halamannya, tapi Kim Jong-un harus menjawab pertanyaan atas kekuasaan dan kepemimpinannya. Kenyataannya, tidak peduli bagaimana Pyongyang bersikap, Korea Utara tetap saja negara miskin yang membutuhkan bantuan dari luar".
3. Kim Jong-un mengulur waktu untuk menghindari perang
Ketika Kim Jong-un bersedia bertemu dengan Moon Jae-in dan Donald Trump, dia dinilai sedang membuka jalan menuju kemenangan. Hal tersebut diungkapkan oleh Adam Mount, senior fellow and director, Defense Posture Project, Federation of American Scientists.
Melalui pertemuan dengan kepala negara Korea Selatan dan Amerika Serikat, Kim Jong-un akan berusaha untuk meringankan sanksi, memanen legitimasi, dan merusak aliansi militer Seoul-Washington sembari menawarkan sejumlah sejumlah restriksi dalam program nuklir dan rudalnya.
"Tawaran diplomatik itu bagian dari permainan waktu. Pyongyang mungkin telah menghitung bahwa risiko perang telah meningkat ke tingkat yang tidak dapat diterima dan cara terbaik adalah 'membuang-buang waktu' pada periode pertama Trump, yang telah ditandai oleh ancaman yang tidak menentu, pamer kekuatan militer, dan pengangkatan seorang yang garis keras ke posisi tinggi," ujar Mount.
"Jika terjadi perang besar, Korea Utara akan menimbulkan kerusakan besar pada warga Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Tetapi bila itu benar-benar terjadi, rezim (Kim Jong-un) kemungkinan akan menderita kerugian terbesar. Para pemimpinnya bisa kehilangan kekuasaan atau hidup mereka".
Untuk mengulur waktu, menurut Mount, Korea Utara menawarkan konsesi yang moderat dan sementara untuk membatasi program uji coba nuklir atau rudal, menunjukkan sejumlah langkah simbolis. Itu semata-mata harapan agar Amerika Serikat menerima mereka dan menyatakan kemenangannya atau mungkin Pyongyang akan mencoba membungkam negosiator lewat diskusi teknis yang rumit.
"Bagaimanapun, gagasan bahwa tindakan diplomatik atau militer dapat segera membongkar program nuklir Korea Utara adalah sebuah angan-angan," tegas Mount.
Advertisement