Liputan6.com, Tokyo - Sebuah majalah kesehatan Jepang, Shukan Josei menulis dalam editorialnya bahwa anak-anak di Negeri Sakura lebih cepat tua daripada usianya.
Anak-anak yang menua itu masih usia SD. Belum lagi mencapai remaja namun, tubuh para bocah ini sudah seperti para lansia, seperti bahu kaku, punggung sakit, penglihatan melemah, dan rambut menipis.
Dikutip dari Japan Today pada Senin (23/4/2018), majalah itu menyebut dua pemicu utama mengapa anak-anak itu jadi seperti lansia. Yakni, randoseru dan ponsel cerdas.
Advertisement
Randoseru berasal dari kata ransel berarti tas punggung. Jepang mengadopsi kata itu sekitar 200 tahun yang lalu, dan itu adalah tas sekolah standar di antara anak-anak sekolah dasar Jepang sejak pendidikan dasar menjadi wajib pada tahun 1885.
Tas ransel anak-anak itu berat. Isinya buku-buku teks yang semakin banyak sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berkembang. Buku-buku anak-anak Jepang masa kini 34 persen lebih berat sekarang daripada tahun 2005.
Baca Juga
Lalu ada smartphone di mana-mana. Para bocah cenderung membungkuk sambil berjalan memandangi ponsel itu.
Jika Anda berjalan dengan leher membungkuk ke depan pada sudut 45 derajat, kepala Anda, yang beratnya 4 hingga 5 kg, menjadi beban yang setara dengan 20 kg, kata ahli ortopedi Tokyo, Masayuki Sasaki.
"Berjalan ke dan dari sekolah dengan beban akademis di punggung Anda dan layar smartphone yang menarik leher Anda ke depan bukanlah sesuatu yang harus dilakukan oleh tubuh manusia," kata Sasaki.
"Akibatnya, banyak pasien cilik yang datang ke saya dengan keluhan otot tegang, nyeri punggung dan gangguan sirkulasi darah," lanjutnya.
Beban tidak hanya fisik. Chiropractor Eiji Yamanaka melihat elemen psikologis juga.
"Menurut saya, berdasarkann pasien saya sendiri, bahwa anak-anak sekarang lebih percaya diri daripada biasanya," kata Yamanaka.
"Tetapi ada yang lebih dari yang lain, dan lebih pendiam. Anak-anak ini rajin belajar. Tapi mereka semua tidak alami, karena secara emosional mereka terluka," ucapnya lagi.
"Banyak anak-anak yang menderita sakit punggung adalah anak-anak yang serius," kata Yamanaka.
"Sistem saraf mereka tampaknya merespons segala sesuatu - harapan orang tua, harapan guru, kedudukan mereka di antara teman-teman," simpul Yamanaka, terkait keadaan anak-anak Jepang yang tua sebelum umurnya itu.
Selain punggung, peningkatan kebotakan dini dan pandangan memburuk juga terjadi pada anak-anak Jepang.
"Cara anak-anak zaman now bermain tidak baik untuk mata," kata Dokter Mata Sachi Amaki.
"Mereka sebagian besar beraktivitas di dalam ruangan, dan kebanyakan online, yang berarti mengintip di layar."
Di masa lalu, anak-anak bermain menangkap. Saat melempar bola mereka melihat jauh. Ketika menangkapnya mereka terlihat dekat. Itu keseimbangan yang bagus," ucap Dokter Amaki
Menurut Amaki, maksimal penggunakan ponsel cerdas sehari adalah dua jam.
"Itu yang paling maksimal untuk mata anak-anak," ucapnya.
Shukan Josei mengutip catatan survei pemerintah, rata-rata penggunaan ponsel sehari-hari di antara anak-anak Jepang adalah dua setengah jam.
1 September, Hari yang Paling Ditakuti oleh Siswa Jepang
Selain beratnya tas, kecanduan ponsel, ada yang lain yang membuat psikologi anak-anak Jepang rentan. Murid-murid sekolah menengah Jepang takut pada tanggal 1 September.
Banyak siswa di sekolah-sekolah Jepang melakukan bunuh diri tiap tanggal 1 September dibanding hari lainnya. Menurut kantor kabinet Jepang, 1 September adalah hari 'bersejarah' karena jumlah anak di usia di bawah 18 tahun melakukan bunuh diri.
Menurut catatan, dari tahun 1972 hingga 2013, ada 18.048 kasus bunuh diri pada anak-anak usia sekolah di Jepang. Atau kalau di rata-ratakan, 31 Agustus ada 92 kasus bunuh diri, 1 September ada 131 anak bunuh diri, dan 2 September ada 94 kasus.
Angka tertinggi juga didapati di bulan April, ketika semester pertama tahun ajaran sekolah Jepang dimulai.
Advertisement