Liputan6.com, Yerevan - Perdana Menteri Armenia, Serzh Sargsyan, mengundurkan diri -- menyusul rangkaian desakan oposisi dan demonstrasi warga selama beberapa waktu terakhir yang menuntut agar pria itu menanggalkan jabatannya.
Alasan kelompok oposisi dan warga mendesak Sargsyan mundur karena pria itu dituding hendak mencengkeram kekuasaan melebihi batas periode waktu yang telah ditentukan.
Advertisement
Baca Juga
Warga dan oposisi Armenia juga menilai Sargsyan memiliki kemiripan manuver politik dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin -- yang berhasil mencengkeram kekuasaan sebagai kepala negara selama bertahun-tahun.
Merespons desakan berbagai pihak, Sargsyan mengatakan, "Gerakan warga itu dilakukan untuk menentang kekuasaan saya. Maka, saya menjawab tuntutan mereka," ujarnya seperti dilansir BBC, Selasa (24/4/2018).
"Nikol Pashniyan (pemimpin kelompok oposisi Armenia) benar, saya salah," ujar Sargsyan mengakui berbagai tudingan yang dilontarkan oleh oposisi terhadap dirinya.
"Ada sejumlah solusi sebenarnya (untuk menyelesaikan berbagai tudingan itu), tapi saya tidak akan mengambilnya ... Saya (lebih memilih) meninggalkan jabatan Perdana Menteri," ungkapnya.
Di sisi lain, Juru Bicara Kantor Perdana Menteri, Hovhannes Nikoghosyan mengatakan bahwa langkah Sargsyan adalah 'contoh kepatuhan demokrasi' dan 'bentuk tanggung jawab memenuhi desakan warga'.
Presiden Armenia, Armen Sarkissian dilaporkan telah menerima pengunduran diri Sargsyan. Di sisi lain, kursi perdana menteri untuk sementara diisi oleh Karen Karapetyan.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Alasan Desakan Oposisi dan Warga
Pengumuman Serzh Sargsyan datang usai pemimpin oposisi Nikol Pashniyan dibebaskan dari tahanan pada awal pekan ini.
Sebelumnya, Pashniyan, dua figur oposisi, dan sekitar 200 demonstran ditangkap pada hari Minggu 22 April, setelah masing-masing di antara mereka ramai menyerukan pengunduran diri Sargsyan pada beberapa kesempatan dan waktu terpisah. Penangkapan itu memicu demonstrasi yang lebih besar pada beberapa hari selanjutnya.
Sejak 2015, kelompok oposisi telah menyuarakan kritik terhadap Serzh Sargsyan, menyusul referendum nasional yang mengubah sistem pemerintahan Armenia dari presidensial menjadi parlementer -- yang juga menyebabkan pemindahan kekuasaan kepala negara dari presiden ke perdana menteri.
Referendum 2015 dilaksanakan pada akhir masa periode kepresidenan Sargsyan -- yang kala itu menjabat sebagai Presiden Armenia.
Warga dan oposisi menuding ada udang di balik batu pada referendum 2015 -- menganggapnya sebagai upaya bagi Sargsyan untuk mencengkeram kekuasaan lebih lama dari periode yang telah ditentukan oleh konstitusi.
Akan tetapi, pada awal referendum, Sargsyan menepis tudingan itu. Ia menyatakan 'tak lagi berminat' untuk menjadi kepala negara menyusul masa jabatannya sebagai presiden yang telah habis.
Namun akhirnya, Sargsyan justru tetap berhasil menduduki kursi Perdana Menteri Armenia -- membuktikan tudingan warga dan oposisi -- usai partai yang dipimpinnya, Republican Party, berhasil memenangi Pemilu Parlemen Armenia pada April 2017.
Pelantikan Sargsyan menjadi Perdana Menteri Armenia, yang dilakukan pada 17 April 2018, menyulut respons pedas dari oposisi dan demonstrasi besar warga. Mereka menolak sang eks-presiden menduduki kursi kepala negara beribu kota Yerevan itu.
Di sisi lain, warga dan oposisi Armenia juga kerap mengkritik Sargsyan, menuding pria itu memiliki kemiripan manuver politik seperti Presiden Rusia, Vladimir Putin.
Putin berhasil mencengkeram kekuasaannya sebagai kepala negara Rusia selama bertahun-tahun, memanfaatkan perubahan sistem pemerintahan Negeri Beruang Merah -- yang kini mengkombinasikan sistem parlementer dan presidensial (mixed presidential-parliamentary system) -- pada beberapa tahun lalu.
Dugaan kedekatan politik Sargsyan dengan Putin juga menjadi salah satu bahan kritik warga dan oposisi Armenia.
Sementara itu, Moskow sendiri, yang saat ini mengaku tengah memantau situasi di Yerevan 'dengan amat saksama', menyebut Armenia sebagai negara yang 'sangat penting' bagi Rusia.
Advertisement