Liputan6.com, Naypyidaw - Di garis depan, militer melancarkan serangan udara dan artileri terhadap pemberontak. Di kamp-kamp pengungsian, warga sipil yang ketakutan membangun perlindungan dari karung pasir dan batu. Itu merupakan gambaran di bagian Myanmar utara, di mana konflik diprediksi akan memburuk.
Ketika perhatian dunia tertuju pada penderitaan umat muslim Rohingya, perang sipil berkecamuk di wilayah lain di Myanmar, tepatnya di negara bagian Kachin.
Pertempuran meletus antara militer Myanmar dan sejumlah kelompok militan Kachin. Konflik bersenjata antar-kedua pihak masuk dalam daftar salah satu perang terlama di muka Bumi dan dalam beberapa bulan terakhir intensitasnya meningkat secara dramatis. Menurut PBB, setidaknya 10.000 orang telah mengungsi sejak Januari 2018.
Advertisement
Meski krisis Kachin berbeda dengan krisis Rohingya, ada pertautan antar-keduanya. Hal tersebut diungkapkan Zau Raw, yang mengepalai komite pemberontak yang mengawasi bantuan kemanusiaan di daerah pegunungan yang dikuasai kelompok itu di sepanjang perbatasan China.
"Sama seperti Rohingya, Kachin mulai menyadari bahwa militer ingin 'membersihkan' kami. Ini adalah perang untuk memusnahkan kami," tutur Zau Raw.
Etnis Kachin, yang kebanyakan Kristen, telah berjuang untuk mendapat otonomi yang lebih besar di negara yang mayoritas beragama Buddha sejak tahun 1961. Namun, gerakan mereka adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk menggoyang kekuasaan etnis mayoritas -- yang memangku seluruh jabatan di militer dan pemerintahan.
Setidaknya, 20 dari kelompok militan di Kachin telah mengangkat senjata sejak kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada 1948. Dan dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah telah menandatangani gencatan senjata dengan 10 dari kelompok militan. Adapun, enam lainnya masih terus mengangkat senjata.
Pada Maret 2018, sebuah misi pencari fakta PBB melaporkan terdapat "tanda-tanda yang mirip" antara kekejaman militer yang terjadi di Kachin dan yang menimpa warga Rohingya. Demikian seperti dikutip dari Washington Post yang melansir The Associated Press, Rabu (25/4/2018).
Sama seperti di Rakhine, PBB menerima laporan baru bahwa terjadi penganiayaan berat oleh militer, termasuk di antaranya pembunuhan, penculikan, penjarahan, penyiksaan, pemerkosaan, dan kerja paksa. Selain itu, pemerintah telah membatasi akses kemanusiaan terhadap sekitar 120.000 warga sipil yang melarikan diri.
Menurut Zau Raw, restriksi tumbuh lebih ketat sejak Aung San Suu Kyi mulai menjabat sebagai Penasihat Negara pada 2016. Saat ini, pemerintah melarang PBB dan sejumlah organisasi internasional untuk mencapai zona yang dikuasai pemberontak. Bantuan akhirnya didistribusikan lewat kelompok-kelompok gereja.
Baca Juga
Pekan lalu, para tokoh masyarakat Kachin menyerukan pada pemerintah untuk mengizinkan bantuan medis menjangkau 2.000 orang yang terperangkap di hutan di dekat front pertempuan selama berminggu-minggu. Namun, hingga kini belum ada tanggapan.
Otoritas Myanmar menuding bahwa beberapa bantuan berakhir di tangan para pemberontak. Namun, tuduhan itu dibantah kelompok pemberontak dan organisasi kemanusiaan.
Zau Raw mengatakan tujuan pemerintah Myanmar sederhana, "Mereka mencoba 'membuat hidup lebih sulit bagi warga sipil' yang tinggal di daerah pemberontak". Ia menambahkan bahwa kekurangan gizi di kalangan anak-anak memburuk.
Militer Myanmar tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar terkait hal ini. Namun, juru bicara kepresidenan Zaw Htay mengakui pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi. Meski demikian, ia mengatakan kedua pihak patut disalahkan.
"Setiap kali ada pertempuran, ada kerusakan tambahan," katanya, menambahkan bahwa pemerintah, pada bagiannya, ingin mengakhiri perang. "Inilah mengapa kami mendesak kelompok-kelompok etnis bersenjata untuk menandatangani gencatan senjata nasional".
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Menolak gencatan senjata
Pemberontak dari kelompok Kachin Independence Army telah bertemu militer berulang kali untuk pembicaraan damai, tetapi mereka menolak untuk menandatangani gencatan senjata karena pemerintah tidak mengakui beberapa kelompok pemberontak yang bersekutu dengan mereka. Kachin juga menolak mengakui konstitusi 2008, yang memberi militer kekuatan yang luar biasa.
Seperti kebanyakan minoritas lainnya, mereka memandang perjuangannya sebagai perjuangan eksistensial untuk bertahan hidup dan persamaan hak. Militer, sebaliknya, melihat para pemberontak sebagai kekuatan "teroris" yang bertekad untuk mengacaukan negara, demikian menurut petinggi kelompok pemberontak, Maran Zaw Tawng.
Seorang gerilyawan yang selamat dari pertempuran di Tanai, Dee La (39), menceritakan kepada The Associated Press bahwa pasukan pemerintah menggempur posisi mereka selama berbulan-bulan dengan jet tempur, helikopter tempur, dan artileri.
Pada hari terakhir pertempuran, ia menggambarkan bahwa ia berada dalam pengeboman tanpa henti yang begitu sengit hingga ia dan para pemberontak lainnya bahkan tidak dapat mengevakuasi mayat lima rekannya.
"Mereka menggunakan pesawat tak berawak untuk menemukan posisi kami, kemudian mereka akan memukul kami dengan serangan udara," kata Dee La dari sebuah tempat tidur rumah sakit di Laiza, kota kecil yang berfungsi sebagai markas pemberontak. "Kami kehilangan segalanya ... itu adalah kegagalan".
Gerilyawan itu mengalami kebutaan di salah satu matanya dan menderita luka akibat terkena ranjau.
Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan telah menerima laporan baru tentang taktik militer lama yang digunakan aparat Myanmar, yaitu pasukan patroli menangkap warga sipil, banyak yang dipukuli atau dilecehkan secara seksual, dan mereka dipaksa bekerja sebagai pengangkut barang atau perisai manusia.
Advertisement