Sukses

Jelang Pertemuan Kim Jong-un dan Presiden Korsel, Ini 5 Hal yang Perlu Diketahui

5 hal yang perlu diketahui seputar pertemuan puncak antara pemimpin Korea Utara dan Presiden Korea Selatan esok.

Liputan6.com, Panmunjom - Kim Jong-un akan menjadi pemimpin pertama Korea Utara -- sejak akhir Perang Korea 1953 -- yang akan melintasi perbatasan dan memasuki wilayah Korea Selatan, demi berpartisipasi dalam pertemuan bersejarah yang digadang-gadang dapat membawa perdamaian di Semenanjung Korea dan reunifikasi kedua negara.

Terakhir kali, pemimpin kedua negara bertemu pada tahun 2007.

Pada Jumat 27 April esok, Kim Jong-un akan disambut langsung oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Peace House, Zona Demiliterisasi (DMZ), Panmunjom, Korea Selatan.

Hasil dialog di Panmunjom itu, di samping akan menentukan masa depan hubungan kedua Korea, juga akan mengatur panggung bagi perhelatan diplomatik yang tak kalah penting, yakni, pertemuan antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Demikian seperti dikutip dari CNN (26/4/2018).

Berikut, 5 hal yang perlu diketahui seputar dialog antara Kim Jong-un dan Moon Jae-in esok, serta hal-hal lain yang mungkin berdampak pada konstelasi geo-politik di semenanjung, serta, prospek pertemuan antara pemimpin Korea Utara dengan presiden Amerika Serikat.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 6 halaman

1. Agenda Pra-Dialog

Kim Jong-un akan berjalan melintasi Garis Demarkasi Militer (MDL) kedua negara dan memasuki separuh wilayah Zona Demiliterisasi (DMZ) di bagian area Korea Selatan, pada Jumat, 27 April sekitar pukul 09.30 pagi waktu setempat.

Di sana, ia akan disambut langsung oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in. Keduanya bersama-sama akan berjalan kaki singkat menuju Peace House, sebuah pusat konferensi di Panmunjon, beberapa meter dari DMZ.

Ada spekulasi bahwa Kim Jong-un akan ditemani oleh istrinya, Ri Sol-ju.

Mereka akan beristirahat dan makan siang bersama di Peace House. Usai itu, kedua kepala negara akan melaksanakan sejumlah kegiatan seremonial, seperti menanam pohon pinus menggunakan tanah dari Gunung Halla di Korea Selatan dan Gunung Baekdu di Korea Utara.

Agenda seremonial itu bak pemanasan sebelum dialog inti yang akan berlangsung setelahnya.

Jelang pertemuan bersejarah itu, pihak Korea Selatan dilaporkan merenovasi dan meremajakan bangunan Peace House (serta menambahkan hiasan yang menyimbolkan reunifikasi dua Korea) -- sebuah langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh Negeri Ginseng. Hal itu dinilai menunjukkan keseriusan Seoul pada KTT bersejarah ini.

Kabarnya, seluruh agenda itu akan disiarkan langsung ke jutaan orang di seluruh dunia.

3 dari 6 halaman

2. Agenda Dialog dan Tujuan yang Hendak Dicapai

Ada tiga topik utama dalam agenda tersebut: denuklirisasi Semenanjung Korea, pemulihan hubungan bilateral, dan penyelesaian formal Perang Korea yang berakhir hanya dengan gencatan senjata pada 1953 -- membuat kedua negara itu, secara teknis, masih berperang sampai tahun ini.

Isu yang paling penting dari ketiga agenda itu adalah denuklirisasi dan perlucutan senjata nuklir Korea Utara.

Diprediksi, pembahasan atas agenda tersebut akan memberikan hasil positif.

Sinyal-sinyal positif atas hasil agenda tersebut dinilai tercium sejak akhir pekan lalu, di mana Presiden Moon Jae-in mengatakan bahwa Korea Utara telah menyetujui denuklirisasi dan perlucutan senjata.

"(...) Korea Utara sudah mengutarakan komitmen untuk melakukan denuklirisasi secara penuh," kata Presiden Moon Jae-in seperti dikutip dari Hankyoreh pada 21 April 2018.

Moon Jae-in juga mengatakan bahwa Korea Utara bahkan tak mengajukan syarat-syarat spesifik untuk proses denuklirisasi itu.

"Misalnya, seperti meminta AS untuk menarik pasukannya dari Korea Selatan -- US Forces Korea -- sebagai pra-syarat denukliriasi, yang jelas-jelas akan ditolak oleh Amerika," kata Moon.

"Korea Utara tidak meminta hal itu," lanjutnya.

Di sisi lain, pada Sabtu pekan lalu, Kim Jong-un juga menegaskan bahwa Korea Utara 'tak perlu lagi menguji kemampuan persenjataannya', menambah sinyal-sinyal positif atas agenda denuklirisasi dan perlucutan.

Namun, para analis menilai optimisme itu dengan sedikit skeptis, mengatakan bahwa denuklirisasi kemungkinan akan menjadi titik paling alot dalam pembicaraan dan Kim Jong-un mungkin tidak benar-benar akan mempertimbangkan denuklirisasi dan perlucutan.

Dan bahkan jika Korea Utara setuju untuk denuklirisasi, kita tidak tahu berapa banyak senjata nuklir yang dimilikinya atau di mana mereka berada.

4 dari 6 halaman

3. Figur dan Pihak yang Terlibat

Korea Utara dan Korea Selatan menjadi dua pihak utama dalam pertemuan di Panmunjom pada Jumat 27 April nanti.

Delegasi yang hadir merupakan figur setingkat kepala negara dan pejabat tinggi pemerintahan.

Di samping Kim Jong-un dan Ri Sol-ju, beberapa figur Korea Utara yang mungkin hadir adalah Kim Yo-jong -- adik Kim Jong-un yang turut memegang jabatan penting di Politbiro Partai Komunis Korea Utara -- serta beberapa pejabat tinggi setingkat menteri atau penasihat.

Sementara itu, delegasi pendamping Presiden Moon Jae-in berjumlah enam orang, terdiri dari, Kepala Staf Kepresidenan, Im Jong-seok, Penasihat Kepresidenan Bidang Keamanan Nasional, Chung Eui-yong, Kepala Badan Intelijen Korea Selatan, Suh hoon, Menteri Unifikasi, Cho Myuong-gyon, Menteri Pertahanan, Song Young-moo, dan Menteri Luar Negeri, Kang Kyung-wha

Tapi, jika dilihat dalam konteks yang lebih luas, tak hanya Korea Utara dan Korea Selatan yang sesungguhnya terlibat serta memiliki kepentingan dalam KTT tersebut. Ada China, Amerika Serikat, dan Jepang yang 'mengawasi di balik layar'.

Bagi Amerika Serikat, pertemuan itu akan bertindak sebagai barometer untuk apa yang dianggap sebagai acara utama: pertemuan antara Kim Jong-un dan Donald Trump yang akan menyusul usai KTT Korea Utara - Korea Selatan.

Apa yang disetujui pada hari Jumat, entah berakhir positif atau negatif, akan memetakan masa depan, narasi, serta nuansa pada pertemuan Kim Jong-un - Trump.

Jepang dan China juga memiliki banyak hal yang dipertaruhkan dalam negosiasi KTT ini.

Tokyo khawatir bahwa kesepakatan bisa berakhir negatif dan memungkinkan Korea Utara untuk tetap mempertahankan rudal jarak pendek dan menengah mereka -- yang dapat mengancam Jepang.

Sedangkan Beijing khawatir bahwa Kim Jong-un bergerak keluar dari aliansi persekutuan Korut - China dan KTT tersebut justru menghasilkan kesepakatan yang mendorong Korea Utara mendekat ke AS dan sekutunya.

Hal itu juga bisa memberikan dampak yang lebih luas, hingga ke tataran politik di Dewan Keamanan PBB serta pengaruhnya terhadap penjatuhan sanksi, denuklirisasi dan perlucutan -- mengingat Negeri Tirai Bambu merupakan anggota tetap DK PBB.

5 dari 6 halaman

4. Perlukah Dunia Peduli?

Beberapa bulan yang lalu, AS dan Korea Utara tampak berada di ambang perang, di mana Trump menjanjikan 'fire and fury' dan Kim Jong-un mengancam akan meluncurkan rudal ke teritori AS di Guam.

Setiap konfrontasi militer di Semenanjung Korea juga akan menimbulkan kerugian besar (baik korban sipil dan kerusakan) bagi Korea Selatan dan Jepang. Dampaknya, ketika Seoul dan Tokyo diancam, sekutu mereka, Washington, tak akan tinggal diam -- meningkatkan risiko perang rudal Korut - AS.

Maka, keberhasilan atas pertemuan ini mampu mengubah dinamika geo-politik antara masing-masing pihak yang terlibat, yang sarat bertensi tinggi sejak tahun lalu. Oleh karenanya, dunia patut peduli.

Selain pemulihan kondisi keamanan global, hasil positif KTT itu turut memberikan keuntungan tersendiri bagi warga Korea Utara serta diharapkan mampu memperbaiki kondisi hidup mereka -- yang selama beberapa tahun menderita akibat sanksi ekonomi.

Namun, situasi hak asasi manusia Korea Utara yang mengerikan tidak diharapkan menjadi topik utama diskusi.

6 dari 6 halaman

5. Penyebab Dinamika Terkini Bisa Terjadi

Semua berawal ketika Kim Jong-un, pada pidato kenegaraan Tahun Baru 2018, mengumumkan siap berunding dengan Korea Selatan dan Amerika Serikat. Pengumuman itu mengubah arah lintasan diplomasi Korea Utara.

Sampai saat ini, tidak ada yang tahu pasti mengapa Kim Jong-un mendadak memutuskan untuk berunding. Tetapi, analis mengatakan bahwa hal itu dimungkinkan oleh kombinasi dari tiga faktor.

Pertama, tekanan dan sanksi ekonomi yang semakin menjepit Korea Utara, baik pemerintah dan warga -- membuat Kim Jong-un berada dalam kondisi yang rentan. Penyebabnya, keruntuhan relasi perdagangan dengan China, sekutu dan ekonomi tradisional negara itu, akibat sanksi internasional yang sungguh ketat.

Kedua, Kim Jong-un mungkin sangat membutuhkan pengakuan internasional dan yakin senjata nuklirnya dapat memberinya kekuatan dan pengaruh di panggung dialog dunia.

Merasa di atas angin, ia ingin para pemimpin asing memperlakukan dia sebagai orang yang sederajat bukan pemimpin pariah -- sebagaimana Barat memperlakukan Saddam Hussein dan Moammar Khadafi.

Duduk dalam pertemuan puncak dengan Moon Jae-in, dan kemudian Trump, akan dicirikan sebagai kemenangan tersendiri bagi Kim Jong-un -- yang tidak pernah berhasil dicapai oleh ayah atau kakeknya.

Terakhir, Kim Jong-un bisa saja mengulur-ulur waktu. Masa jabatan pertama Trump di kantor telah ditandai oleh ancaman yang tidak menentu, geliat aktivitas militer dan pengangkatan orang-orang garis keras (yang sangat menginginkan konfrontasi) ke posisi-posisi kunci kabinet.

Menghitung bahwa risiko perang telah meningkat, Kim Jong-un mungkin berpikir pembicaraan diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup keluarganya.