Liputan6.com, Naypyidaw - Sekitar 4.000 warga sipil terpaksa mengungsi sejak April 2018, menyusul eskalasi pertempuran bersenjata antara tentara pemerintah dengan kelompok pemberontak di Kachin, negara bagian paling utara Myanmar.
Eksodus massal itu telah terjadi sejak awal bulan ini, menurut laporan PBB seperti dikutip dari BBC, Senin, 30 April 2018.
Konflik yang sudah berlangsung lama antara Organisasi Kemerdekaan Kachin (KIO) dan tentara Myanmar mengalami eskalasi beberapa waktu lalu, setelah militer dilaporkan menyerang KIO dengan serangan udara dan artileri.
Advertisement
Serangan udara dan artileri itu disebut berdampak pada warga sipil di kawasan, menyebabkan eksodus massal.
Baca Juga
Selain ribuan orang yang mengungsi, ada kekhawatiran bahwa banyak warga sipil yang masih terperangkap di Negara Bagian Kachin yang dekat dengan perbatasan China itu.
Oleh karenanya, organisasi kemanusiaan internasional mendesak pemerintah untuk mengizinkan mereka mengakses para warga sipil non-kombatan yang terdampak
"Perhatian terbesar kami adalah menjamin keselamatan warga sipil, terutama perempuan hamil, orang tua, anak-anak kecil dan orang-orang cacat," kata Mark Cutts, kepala Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), kepada AFP seperti dikutip dari BBC.
"Kami harus memastikan bahwa mereka dilindungi," lanjut Cutts mengomentari krisis kemanusiaan teranyar di Myanmar itu.
Jumlah Pengungsi
Belum ada kesepakatan terkait total angka pengungsi yang melakukan eksodus massal akibat konflik di Kachin.
Seperti dilansir BBC, sejak awal April 2018, terdapat sekitar 4.000 orang yang mengungsi dari negara bagian tersebut.
Sementara itu, seperti dilansir Associated Press, sejak awal Januari 2018, total pengungsi mencapai sekitar 10.000 jiwa.
Sedangkan, sejak konflik etnis di utara Myanmar itu pecah, sekitar 120.000 orang dari Negara Bagian Kachin dan Negara Bagian Shan telah melakukan eksodus massal.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Latar Belakang Konflik di Kachin
Pertempuran meletus antara militer Myanmar dan sejumlah kelompok militan Kachin. Konflik bersenjata antar-kedua pihak masuk dalam daftar salah satu perang terlama di muka Bumi dan dalam beberapa bulan terakhir intensitasnya meningkat secara dramatis.
Meski krisis Kachin berbeda dengan krisis Rohingya, ada pertautan antar-keduanya. Hal tersebut diungkapkan Zau Raw, yang mengepalai komite pemberontak yang mengawasi bantuan kemanusiaan di daerah pegunungan yang dikuasai kelompok itu di sepanjang perbatasan China.
"Sama seperti Rohingya, Kachin mulai menyadari bahwa militer ingin 'membersihkan' kami. Ini adalah perang untuk memusnahkan kami," tutur Zau Raw.
Etnis Kachin, yang kebanyakan Kristen, telah berjuang untuk mendapat otonomi yang lebih besar di negara yang mayoritas beragama Buddha sejak tahun 1961. Namun, gerakan mereka adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk menggoyang kekuasaan etnis mayoritas -- yang memangku seluruh jabatan di militer dan pemerintahan.
Setidaknya, 20 dari kelompok militan di Kachin telah mengangkat senjata sejak kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada 1948. Dan dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah telah menandatangani gencatan senjata dengan 10 dari kelompok militan. Adapun, enam lainnya masih terus mengangkat senjata.
Pada Maret 2018, sebuah misi pencari fakta PBB melaporkan terdapat "tanda-tanda yang mirip" antara kekejaman militer yang terjadi di Kachin dan yang menimpa warga Rohingya. Demikian seperti dikutip dari Washington Post yang melansir The Associated Press, Rabu 25 April.
Sama seperti di Rakhine, PBB menerima laporan baru bahwa terjadi penganiayaan berat oleh militer, termasuk di antaranya pembunuhan, penculikan, penjarahan, penyiksaan, pemerkosaan, dan kerja paksa. Selain itu, pemerintah telah membatasi akses kemanusiaan terhadap warga sipil yang melarikan diri.
Menurut Zau Raw, restriksi tumbuh lebih ketat sejak Aung San Suu Kyi mulai menjabat sebagai Penasihat Negara pada 2016. Saat ini, pemerintah melarang PBB dan sejumlah organisasi internasional untuk mencapai zona yang dikuasai pemberontak. Bantuan akhirnya didistribusikan lewat kelompok-kelompok gereja.
Militer Myanmar tidak bisa dihubungi untuk dimintai komentar terkait hal ini. Namun, juru bicara kepresidenan Zaw Htay mengakui pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi. Meski demikian, ia mengatakan kedua pihak patut disalahkan.
"Setiap kali ada pertempuran, ada kerusakan tambahan," katanya, menambahkan bahwa pemerintah, pada bagiannya, ingin mengakhiri perang. "Inilah mengapa kami mendesak kelompok-kelompok etnis bersenjata untuk menandatangani gencatan senjata nasional".
Advertisement