Sukses

PM Israel Klaim Sukses Menguak Program Senjata Nuklir Rahasia Iran

PM Israel mengklaim memiliki dokumen yang membuktikan program senjata nuklir rahasia Iran.

Liputan6.com, Tel Aviv - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengklaim berhasil memperoleh dokumen yang membuktikan bahwa Iran secara diam-diam menjalankan program pengembangan senjata nuklir.

Netanyahu juga mengklaim, dokumen puluhan ribu halaman itu menunjukkan bahwa Negeri Para Mullah telah menipu dunia dan melanggar Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA) dengan tetap mengembangkan proyek tersebut, meski Tehran menyangkalnya. Demikian seperti dikutip dari BBC (1/5/2018).

Dokumen itu, menurut klaim Netanyahu, menunjukkan bahwa Iran telah memulai program senjata rahasia pada satu titik pada pra-tahun 2000-an. Program itu bernama 'Project Amad'.

Program tersebut kemudian ditutup pada 2003, bertepatan ketika Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) yang terafiliasi PBB memulai penyelidikan terhadap Iran atas tuduhan mengembangkan energi nuklir untuk senjata.

Namun, menurut Netanyahu, program itu tak benar-benar ditutup.

Sejak 2003, Iran masih terus menjalankan program pengembangan senjata nuklir itu secara rahasia hingga beberapa tahun setelahnya, klaim Netanyahu. Bahkan, sampai ketika Tehran menandatangani JCPOA pada 2015 -- yang berarti menunjukkan pelanggaran Iran atas pakta tersebut.

Netanyahu mengatakan akan mengirim dokumen itu ke IAEA agar lembaga terafiliasi PBB itu bisa menganalisis lebih lanjut. Di sisi lain, negara anggota JCPOA turut mengkaji dokumen tersebut.

JCPOA atau "Iran nuclear deal", merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.

Setiap 90 hari, para anggota JCPOA wajib memberikan 'sertifikasi kepatuhan' terhadap Iran. Tenggat waktu terdekat adalah pada 12 Mei 2018.

Sebagian besar negara anggota telah memberikan sertifikasi itu. Namun, AS belum melakukannya.

Apabila Presiden Donald Trump tidak memberikan sertifikasi kepatuhan Iran terhadap perjanjian nuklir tersebut pada 12 Mei, Amerika Serikat dapat memberlakukan lagi sanksi-sanksi terhadap Negeri Para Mullah.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Sikap Iran, AS dan Para Penandatangan JCPOA

Menyikapi klaim atas dokumen Netanyahu, Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif mengatakan bahwa 'bukti-bukti' itu adalah "Tuduhan lama yang diulang kembali, yang sejatinya sudah selesai ditangani oleh pengawas nuklir PBB (IAEA)."

Zarif juga menyebut bahwa tuduhan Netanyahu adalah sebuah 'aksi kekanak-kanakan' demi meyakinkan Presiden Donald Trump agar semakin membulatkan tekad untuk menarik diri dari JCPOA.

Sejak menjabat sebagai presiden, Trump telah berkeinginan untuk menarik diri dari kesepakatan warisan kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Barack Obama itu.

Presiden ke-45 AS itu menganggap bahwa pakta tersebut 'tak adil' dan 'tak bisa diterima'. Ia juga memandang skeptis kalau Iran benar-benar menanggalkan program pengembangan senjata nuklirnya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga menegaskan hal serupa, kecuali, jika JCPOA direvisi kembali sesuai dengan keinginan Washington.

"Berkenaan dengan JCPOA, Presiden Trump telah menyatakan sangat jelas. Perjanjian itu cacat. Ia telah mengarahkan pemerintah untuk berupaya memperbaikinya, dan apabila kami tidak dapat memperbaikinya, ia akan mundur dari perjanjian tersebut. Ini sangat lugas," kata Mike Pompeo.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo  (AP Photo/Jacquelyn Martin, File)

Di sisi lain, Iran pun tetap tak sepakat dengan usulan revisi JCPOA, menyebutnya sebagai sebuah sikap unilateral sekaligus tak menghargai prinsip kesepakatan internasional.

"Selain tidak menghormati kewajibannya sendiri dan semua komitmennya, Trump menetapkan persyaratan baru (terhadap JCPOA) yang tidak proporsional, yang tidak dapat diterima sama sekali bagi rakyat Iran," kata Menlu Iran, Javad Zarif.

Sementara itu, negara penandatangan JCPOA lain, seperti Inggris dan Prancis justru mengimbau agar AS tetap menegakkan pakta kesepakatan itu.

"Kami tidak pernah naif tentang Iran dan niat nuklirnya," kata juru bicara pemerintah Inggris pada Senin malam pekan ini.

"Tapi di sisi lain, IAEA setuju bahwa Kesepakatan Nuklir Iran adalah salah satu pakta yang paling luas dan kuat dalam sejarah perjanjian nuklir internasional," lanjutnya.

Selain itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron dalam lawatannya ke Gedung Putih pekan lalu mengatakan, "Saya selalu sampaikan bahwa kita tidak boleh mencabik-cabik JCPOA, sementara kita tidak punya (kesepakatan) yang lain. Itu bukan solusi yang baik."

Sedangkan Jerman mengaku masih memeriksa 'secara seksama' dokumen yang diklaim Netanyahu tersebut.

Belum ada tanggapan dari Rusia, China, dan Uni Eropa terkait laporan dari sang PM Israel itu.