Liputan6.com, Kuala Lumpur - Pemimpin oposisi Malaysia Mahathir Mohamad (92) tengah diselidiki atas dugaan menyebarkan berita palsu. Hal tersebut dikonfirmasi pihak kepolisian Malaysia pada Rabu, 2 Mei, kemarin.
Kepala Kepolisian Kuala Lumpur Mazlan Lazim mengatakan, kasus yang melibatkan Mahathir adalah salah satu dari delapan kasus yang dilaporkan jelang pemilihan umum Malaysia ke-14 pada 9 Mei mendatang.
Baca Juga
"Untuk kasus berita palsu, melibatkan klaim Mahathir bahwa jet yang ia sewa untuk terbang ke Langkawi disabotase pada Jumat lalu," terang Mazlan, seperti dilansir Channel News Asia, Kamis (3/5/2018).
Advertisement
Jumat lalu, Mahathir mengklaim bahwa pesawat carteran yang akan mengantarkannya ke Langkawi telah disabotase oleh pihak-pihak tertentu.
Mahathir yang merupakan Ketua Partai Pribumi Bersatu Malaysia naik pesawat di Subang. Namun, ia diberi tahu oleh pilot bahwa salah satu ban pesawat bocor. Mantan pemimpin Malaysia yang berkuasa selama 22 tahun tersebut kemudian berangkat dengan pesawat lain.
Otoritas Penerbangan Sipil Malaysia (CAAM) kemudian mengatakan tidak menemukan bukti adanya sabotase.
Terkait hal tersebut, Gerakan Akar Rumput Malaysia UMNO pada Selasa kemarin melaporkan Mahathir ke polisi. Mereka mengatakan bahwa tuduhan Mahathir memicu ketidakpastian dan persepsi yang keliru di antara mereka yang kontra dengan koalisi Barisan Nasional.
Mazlan menuturkan, saat ini Mahathir sedang diselidiki di bawah Undang-Undang Anti-Berita Palsu 2018. Dan jika terbukti bersalah maka Mahathir terancam kurungan penjara hingga enam tahun dan denda sebesar 500.000 ringgit atau keduanya.
Merespons pemeriksaan terhadap dirinya, Mahathir mengatakan kepada Channel News Asia, "Saya tidak khawatir soal apa pun".
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
UU Disahkan Jelang Pemilu
Jelang pemilihan umum, Parlemen Malaysia pada Senin, 2 April 2018, mengesahkan undang-undang yang melarang berita palsu atau hoax. Di lain sisi, muncul kekhawatiran bahwa pengesahan ini akan disalahgunakan untuk membungkam kelompok yang berseberangan dengan pemerintah sekaligus membawa negara itu lebih dekat dengan kediktatoran.
Seperti dilansir Washingtonpost.com yang mengutip Associated Press, Selasa, 3 April 2018, RUU itu disetujui oleh 164 anggota parlemen. Sementara 64 lainnya menentang. Pada awalnya, RUU ini mengusulkan hukuman penjara 10 tahun dan denda hingga 500.000 ringgit atau setara Rp 1,8 miliar bagi pelanggarnya tapi undang-undang yang disahkan menetapkan hukuman penjara maksimum enam tahun.
Aktivis HAM menyinyalir, undang-undang tersebut bertujuan untuk membungkam pembahasan terkait skandal 1MDB yang menyeret Perdana Menteri Malaysia Najib Razak. Mereka juga khawatir, undang-undang yang mencakup seluruh media bahkan meluas hingga ke orang asing di luar Malaysia, dapat digunakan untuk melawan kritik persekongkolan atau aspek lain dari proses pemilu.
"Undang-undang yang ada sudah cukup, mengapa kita perlu membuat yang lain? Ini akan dilihat sebagai satu langkah maju menuju kediktatoran, ini lebih dari autokrasi," tegas anggota parlemen dari kubu oposisi, Lim Guan Eng.
Azalina Othman, Menteri Hukum Malaysia, menerangkan bahwa media sosial seperti Twitter dan Facebook telah mengakui bahwa mereka tidak dapat memantau berita bohong di platform mereka. Menurutnya, undang-undang yang baru ini bertujuan memberi kekuasan pada pengadilan, bukan pemerintah, untuk memutuskan mana yang disebut kabar palsu.
"Tidak ada yang berada di atas hukum. Kami semua bertanggung jawab atas tindakan kami," ujar Azalina.
Advertisement