Sukses

AS Peringatkan Ancaman Senjata Laser China di Langit Djibouti

AS menuding China sengaja menggunakan sinar laser untuk mengecoh operasional misi rahasianya.

Liputan6.com, Djibouti - Militer Amerika Serikat (AS) telah memperingatkan dunia penerbangan global, untuk berhati-hati terhadap ancaman serangan laser di dekat pangkalan militer China di Djibouti.

Peringatan tersebut muncul di tengah meningkatnya tensi militer kedua negara di wilayah yang kerap dijuluki sebagai Tanduk Afrika itu.

Dikutip dari South China Morning Post pada Kamis (3/5/2018), peringatan itu disampaikan oleh Lembaga Aviasi Federal AS melalui situs resminya, dengan menyebut beberapa kali laporan persinggungan sinar laser berkekuatan tinggi, di titik yang berjarak sekitar 750 meter dari pangkalan militer China.

"Gunakan kewaspadaan tinggi saat transit di dekat area ini," pemberitahuan itu menambahkan.

Beberapa sumber intelijen melaporkan, bahwa garnisun China di Djibouti diduga mengoperasikan senjata laser berkekuatan tinggi untuk mengecoh operasional misi rahasianya.

Menurut laporan buletin Jane's Defence Weekly, tembakan sinar laser itu tidak hanya mengecoh, namun juga berisiko mengaburkan pandangan pilot selama beberapa menit.

Namun, menurut pengamat kemiliteran China, tembakan sinar laser itu kemungkinan digunakan untuk menakut-nakuti burung di dekat lapangan terbang.

Ada pula kemungkinan bahwa sinar laser digunakan untuk mengganggu navigasi pesawat mata-mata asing, bukan menargetkan pilot seperti yang umum ditudingkan saat ini.

Mereka juga mengingatkan bahwa China adalah salah satu pihak yang menandatangani 'Protocol on Blinding Laser Weapons', yang berkomitmen melarang penggunaan laser berkekuatan tinggi penyebab kebutaan.

"Pangkalan China dan AS di Djibouti cukup berdekatan, sehingga berisiko memicu konflik jika kedua negara tidak menerapkan mekanisme komunikasi yang tepat," ujar Zhou Chenming, seorang analis militer yang berbasis di Beijing.

Zhou mencatat bahwa China telah secara terbuka menunjukkan penggunaan senjata laser pada banyak pameran udara di tingkat global.

Pangkalan militer China di Djibouti hanya berjarak beberapa kilometer di sebelah barat laut Camp Lemonnier, satu-satunya pangkalan militer AS di Afrika, dan rumah bagi 4.000 personel militer Negeri Paman Sam.

Camp Lemonnier didirikan setelah serangan 9/11, dan terutama digunakan sebagai pusat kontraterorisme di wilayah tersebut.

Laporan Washington Post pada 2013 mengatakan, pemerintah Djibouti mendesak penghentian penerbangan pesawat tanpa awak -- yang bisa mencapai 16 unit setiap harinya -- atas alasan faktor keamanan warga sipil.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

2 dari 2 halaman

Memicu Perang Dingin AS-China

Karena AS kian menganggap China sebagai pesaing strategis, kedekatan lokasi pangkalan militer kedua negara bisa menjadi 'perang dingin' untuk mengumpulkan informasi satu sama lain.

Pendapat tersebut diutarakan oleh Ni Lexiong, seorang analis militer yang berbasis di Shanghai, seraya menyebut masing-masing pihak tidak akan pernah mengakui perang dingin secara terbuka.

Pangkalan militer China di Djibouti dibangun sejak 2016 di atas lahan seluas 36 hektar, sebagai pusat logistik untuk memasok kapal yang mengambil bagan dalam pemeliharaan perdamaian, dan misi kemanusiaan di lepas pantai Yaman dan Somalia.

Namun, beberapa minggu setelah pangkalan dibuka pada Agustus 2016, pasukan China yang ditempatkan di sana langsung memulai latihan menembak secara intensif.

Djibouti sendiri terletak di lokasi strategis yang vital, yakni dekat dengan Terusan Suez, dan menjadi salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia.

Selain itu, Djibouti juga menawarkan akses yang mudah bagi para pasukan internasional menuju berbagai medan konflik, seperti Sudan, Somalia, dan Yaman.

Tidak ketinggalan, kawasan ini juga dianggap tepat dijadikan sebagai basis militer udara untuk memantau kawasan konflik di Irak dan Suriah.

Pemerintah setempat terbuka menerima pengajuan pembukaan pangkalan militer asing, yang tidak hanya berasal dari AS dan China, melainkan juga dari Prancis, Spanyol, dan Jepang.