Sukses

Nasib Kesepakatan Nuklir Iran Menghitung Hari, Ini Peringatan Sekjen PBB

Menurut Sekjen PBB Antonio Guterres, Timur Tengah dapat menjadi tempat yang jauh lebih berbahaya jika kesepakatan nuklir Iran ditinggalkan begitu saja...

Liputan6.com, London - Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak Donald Trump untuk tidak meninggalkan kesepakatan nuklir Iran. Menurutnya, Timur Tengah dapat menjadi "tempat yang jauh lebih berbahaya" jika kesepakatan nuklir tersebut ditinggalkan begitu saja tanpa ada yang lebih baik untuk menggantikannya.

Minggu depan, tepatnya 12 Mei, Donald Trump akan memutuskan apakah ia akan membawa Amerika Serikat hengkang dari perjanjian tersebut atau sebaliknya.

Kesepakatan nuklir Iran yang diteken pada 2015 menyebutkan, Iran menyetujui inspeksi nuklir dan sebagai imbalannya Teheran akan mendapat kelonggaran sanksi ekonomi.

"Jika suatu hari ada kesepakatan yang lebih baik untuk menggantikannya, itu sah-sah saja, namun kita tidak boleh membatalkannya tanpa memiliki alternatif yang baik," ujar Guterres dalam wawancaranya dengan BBC Radio 4 seperti dikutip dari The Guardian, Jumat (4/5/2018).

"Saya percaya JCPOA (kesepakatan nuklir Iran) adalah kemenangan diplomatik yang penting dan saya rasa penting pula untuk menjaganya, namun saya juga meyakini ada area di mana akan sangat penting untuk memiliki dialog yang berarti karena saya melihat kawasan itu dalam posisi yang sangat berbahaya," imbuh Sekjen ke-9 PBB tersebut.

Guterres juga menerangkan, risiko konfrontasi antara Israel dan Iran "ada". Kemudian ia menambahkan, "kita perlu mengambil berbagai langkah untuk menghindari risiko tersebut".

Sekjen PBB tengah melakukan lawatan tiga harinya di Inggris, di mana ia berkonsultasi terkait langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mencegah "kelumpuhan" di Dewan Keamanan PBB, terutama akibat gangguan dalam hubungan Barat dan Rusia.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Ramai-Ramai Tekan Donald Trump

Sementara itu, mengacu pada kekhawatiran Amerika Serikat soal pengaruh Iran, Guterres mengatakan, "Saya memahami kekhawatiran beberapa negara sehubungan dengan pengaruh Iran di negara-negara lain di kawasan. Tapi, saya rasa kita harus memisahkan hal ini".

Adapun Inggris, Prancis, dan Jerman berencana untuk tetap mempertahankan kesepakatan nuklir Iran.

Dalam upaya untuk memuaskan kekhawatiran Donald Trump, ketiga negara tersebut dilaporkan telah setuju untuk mengejar kesepakatan lain dengan Iran yang meliputi perilaku umum Iran di kawasan, penggunaan rudal balistik Iran dan masa depan setelah kesepakatan berakhir.

Mantan Menteri Luar Negeri Inggris Jack Straw juga mendesak Washington agar tidak hengkang dari kesepakatan nuklir Iran.

"Ironi besar dari posisi Presiden Trump bahwa ia akan melakukan hal berlawanan dari apa yang menjadi tujuannya. Itu (keluar dari kesepakatan nuklir) akan melemahkan Presiden Hassan Rouhani dan semya yang tengah berusaha mereformasi Iran. Itu juga akan mengakhiri semua pengekangan pada program nuklir yang serius," tegas Straw.

"Saya berharap negara-negara Eropa akan secara aktif bekerja sama untuk mendukung kesepakatan ini seperti yang mereka lakukan pada tahun 1996 untuk melindungi ekonomi dan perusahaan mereka dari dampak sanksi Amerika Serikat jika sanksi dijatuhkan," tutur Straw.

Pada tahun 1966, Kongres Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Sanksi Iran dan Libya yang menjatuhkan sanksi terhadap seluruh perusahaan, termasuk perusahaan non-Amerika jika mereka berbisnis dengan kedua negara tersebut.

Pada akhir tahun itu juga, Uni Eropa mengeluarkan undang-undang yang memblokade aturan hukum tersebut dengan menegaskan bahwa ilegal bagi setiap perusahaan Uni Eropa untuk mematuhi sanksi Amerika Serikat. Peristiwa ini juga membuat Washington diseret ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), karena melanggar peraturan perdagangan bebas.

Sejauh ini, Uni Eropa belum membahas secara terbuka apakah memiliki rencana lain untuk mempertahankan kesepakatan nuklir Iran.