Liputan6.com, Ramallah - Mahmoud Abbas kembali terpilih sebagai ketua Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada Jumat, 4 April 2018.
Keputusan terpilihnya kembali Abbas datang usai pertemuan empat hari Dewan Nasional Palestina (PNC) di Ramallah, Tepi Barat, yang dimulai pada awal pekan ini.
Advertisement
Baca Juga
"Anggota Komite Eksekutif PLO telah berkonsultasi dengan sesamanya dan memutuskan untuk memilih saudara Abu Mazen (Abbas) sebagai ketua Komite Eksekutif," kata Azzam Al Ahmad, anggota Komite Eksekutif PLO, dalam pertemuan PNC, seperti dikutip dari Middle East Eyes, Jumat (4/5/2018).
Forum yang mempertemukan para dewan senior dan anggota PNC itu juga dimanfaatkan untuk membahas situasi seputar keputusan unilateral Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, pemindahan kedutaan AS di Tel Aviv ke Al Quds Al Sharif, serta masa depan kemerdekaan Palestina.
Pertemuan PNC itu juga dianggap bersejarah, karena terselenggara untuk pertama kalinya sejak 22 tahun terakhir. Namun, tak semua anggota PNC hadir. Beberapa pihak, seperti Hamas dan beberapa faksi PLO, menolak untuk berpartisipasi.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Pidato Abbas Mengundang Kritik
Pidato Mahmoud Abbas dalam pembukaan pertemuan Dewan Nasional Palestina (PNC) pada Senin, 30 April mengundang kritik pedas dari sejumlah pihak.
Kritik itu disebabkan oleh isi pidato Abbas yang dianggap bernada antisemitisme (prasangka buruk, kebencian, atau sikap permusuhan terhadap kaum Yahudi).
"Dari Abad ke-11 sampai Holocaust terjadi di Jerman, orang-orang Yahudi yang pindah ke Eropa Barat dan Timur selalu menjadi sasaran pembantaian setiap 10 hingga 15 tahun. Tapi mengapa ini terjadi? Mereka mengatakan 'itu karena kita Yahudi'," kata Abbas di depan ratusan delegasi di Ramallah.
Ia kemudian mengutip 'tiga buku' yang ditulis oleh orang Yahudi sebagai bukti bahwa "Permusuhan terhadap orang Yahudi bukan karena agama mereka, melainkan fungsi sosial mereka," dan menambahkan, "Fungsi sosial mereka terkait dengan bank dan bunga".
Berbagai pihak lantas mengkritik Abbas atas pidato yang ia sampaikan dalam pembukaan pertemuan Dewan Nasional Palestina. Komentar seperti itu, ujar berbagai pihak, tak sepatutnya keluar dari mulut seorang presiden de facto Palestina.
Surat kabar Amerika Serikat langganan pemenang Pullitzer Awards, The New York Times menilai bahwa pidato Abbas, "Yang semula ditujukan untuk menjaring simpati internasional, justru malah memancing kemarahan."
"Pernyataan itu juga menjadi bukti bahwa Abbas, yang berusia 80 tahun, sudah semakin tidak relevan, organisasi yang ia pimpin sudah di ambang bangkrut, dan justru memperlebar jurang antara tujuan yang ingin ia capai dengan prospek masyarakat Palestina," lanjut The New York Times.
Sementara itu, Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian di Timur Tengah, Nickolay Mladenov, juga menyayangkan komentar yang diutarakan oleh Abbas.
"Komentar seperti itu sangat tak bisa diterima, sangat mengganggu, dan tidak layak mewakili kepentingan masyarakat Palestina atau Timur Tengah," kata Mladenov.
"Pemimpin memiliki kewajiban untuk menolak antisemitisme di mana pun dan tak bolah menyuburkan teori konspirasi seputar hal tersebut," tambahnya.
Â
Advertisement
PLO Mengalami Kemunduran?
The New York Times juga menulis bahwa PLO yang mendominasi pemerintahan de facto Palestina atau Palestinian Authority, telah mengalami kemunduran popularitas.
"Simpati internasional justru kini bergeser ke Hamas, organisasi pembebasan Palestina berhaluan militan yang mengendalikan Gaza. Mereka telah mengambil inisiatif populer, memfokuskan perhatian internasional lewat demonstrasi di daerah kantung terisolasi dan miskin atau apa yang mereka sebut dengan gerakan "Great Return March" ... jelang Hari Nakba," tulis The New York Times.
Menua dan semakin melemah, kepemimpinan Mahmoud Abbas di PLO dan Palestinian Authority juga hanya menawarkan segelintir solusi yang signifikan bagi dinamika terkini di Palestina, lanjut surat kabar berbasis di Kota New York itu.
"Ini benar-benar terasa seperti titik yang sangat rendah untuk gerakan nasional Palestina, di mana terjadi fragmentasi di dalam organisasi politik utama mereka (PLO)," kata Nathan Thrall, direktur proyek Israel-Palestina International Crisis Group kepada The Times.Â
Thrall turut mengomentari pidato Abbas di pertemuan Dewan Nasional Palestina (PNC) pada Senin 30 April lalu.
"(Pidato Abbas) merupakan cerminan sederhana dari seorang pemimpin yang sakit hati di akhir masa jabatannya, di mana proyek hidupnya telah gagal."
PNC tidak bersidang selama bertahun-tahun karena banyak orang Palestina ingin menunggu rekonsiliasi asli antara partai Fatah pimpinan Abbas dengan Hamas.
Pertemuan reguler terakhir terjadi pada tahun 1996 di Gaza, pada masa yang dianggap sebagai "tahun yang baik" dari proses perdamaian Oslo atau Oslo Peace Process -- yang dimaksudkan untuk mengarah pada penyelesaian perdamaian permanen pada akhir abad ke-20.
Sejak itu, Abbas dianggap telah kehilangan banyak dukungan tradisional dari banyak negara Arab dan telah menghadapi pemerintahan sayap kanan Israel yang semakin meningkat.
"Alih-alih menyalahkan kekuatan besar, kita harus menyalahkan diri kita sendiri," kata Asad Abdul Rahman, seorang delegasi PLO yang berbasis di Yordania.
Setelah perjanjian Oslo, Rahman berkata, "Kami mengabaikan PLO dan hanya fokus pada Otoritas Palestina (Palestinian Authority), dan sayangnya kami kehilangan jembatan dan kontak kami dengan dunia."
Mohammad Shtayyeh, seorang pejabat senior Palestina, menceritakan perjalanan PLO dari perjuangan bersenjata ke perundingan dan, baru-baru ini, upaya internasionalisasi perjuangan Palestina dengan beralih ke PBB dan badan-badan lain.
Tapi, Shtayyeh berpandangan pesimis.
"Tidak satu pun dari mereka," katanya, "telah membebaskan Palestina."