Liputan6.com, Washington DC - Gedung Putih memeringatkan Tiongkok atas konsekuensi militerisasi Laut China Selatan.
Sekretaris Pers Gedung Putih, Sarah Huckabee Sanders mengeluarkan peringatan itu ketika ia menanggapi pertanyaan mengenai laporan media AS bahwa Beijing telah memasang sistem rudal di pos-pos terdepan di Kepulauan Spratly, di Laut China Selatan dekat Vietnam dan Filipina.
"Kami sangat menyadari militerisasi Tiongkok di Laut China Selatan. (Menyikapi hal itu) Akan ada konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang (dari AS)," kata Sanders seperti dikutip dari CNBC (5/5/2018).
Advertisement
Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) juga telah memahami laporan seputar perkembangan terbaru di kawasan laut sengketa itu.
"Kami sangat prihatin atas langkah mereka (China) yang melakukan militerisasi di pulau-pulau buatan itu," kata Juru Bicara Pentagon, Dana White.
Baca Juga
Media AS, CNBC pertama kali melaporkan, Negeri Tirai Bambu secara diam-diam memasang rudal jelajah anti-kapal dan sistem rudal permukaan-ke-udara (surface-to-air) di tiga pos militernya di Laut China Selatan, menurut seorang pejabat intelijen AS anonim yang memahami betul isu itu.
Langkah itu memungkinkan Beijing untuk memproyeksikan lebih lanjut kekuatannya di perairan sengketa tersebut.
Pengkajian intelijen mengatakan bahwa sistem rudal itu dikerahkan di Kepulauan Spratly di bagian Fiery Cross Reef, Subi Reef dan Mischief Reef dalam 30 hari terakhir, lanjut si narasumber.
Penempatan senjata itu juga datang beberapa pekan usai Angkatan Laut AS melaporkan bahwa China telah memasang instalasi pengacak dan pengganggu radar serta komunikasi di kawasan yang sama.
Salah satu sumber laporan itu berasal dari personel Kapal Induk AS USS Theodore Roosevelt yang berlayar di Filipina, dekat kawasan Laut China Selatan pertengahan April lalu.
"Ketika sampai di sana, beberapa peralatan elektronik kami tidak berfungsi semestinya. Fakta itu mengindikasikan bahwa ada pihak yang ingin mengacak sinyal kami. Dan kami punya jawaban siapa yag melakukannya -- China," ujar salah seorang perwira di USS Theodore Roosevelt, seperti dilansir Business Insider Singapore, April 2018.
Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang diklaim oleh enam negara, terletak kira-kira dua pertiga dari arah timur dari Vietnam selatan dan Filipina selatan.
Â
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Tambahan Signifikan Bagi Militer China
Sistem pertahanan pesisir yang baru merupakan tambahan yang signifikan terhadap kapabilitas militer China di salah satu wilayah yang paling diperebutkan di dunia.
Sistem Rudal jelajah anti-kapal perusak, yang dinamakan YJ-12B, memungkinkan China menyerang kapal-kapal musuh yang berlayar dalam jarak sekitar 546 kilometer dari pagar terumbu karang Kepulauan Spartly.
China juga memasang sistem rudal penghalau jarak jauh yang diberi kode HQ-9B. Sistem rudal itu digunakan untuk menghalau pesawat, drone militer, bahkan misil jelajah. Sistem HQ-9B mampu mengantisipasi ancaman dari mulai jarak sekitar 296 kilometer jauhnya.
Terungkapnya pemasangan sistem pertahanan rudal itu pertama kali dideteksi melalui citra satelit, yang tadinya berniat memantau dugaan perluasan pangkalan militer China di Kepulauan Woody.
"Kepulauan Woody berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan militer China di Laut Cina Selatan," kata Gregory Poling dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) kepada CNBC.
"Kami berasumsi bahwa apa pun yang kami lihat di Woody, pada akhirnya akan merujuk pada upaya perluasan pengaruh ke selatan, yang bisa mengancam para tetangga China," ia menambahkan.
Laut China Selatan, yang merupakan rumah bagi lebih dari 200 gugus kepulauan, berfungsi sebagai rute penghubung pelayaran global dari Asia ke Pasifik, dengan total nilai transaksi perdagangan sekitar US$ 3,4 triliun setiap tahun.
Banyak klaim kedaulatan tumpang tindih terhadap pulau-pulau, terumbu karang, dan bebatuan atol, yang telah mengubah perairan tersebut menjadi sebuah area persaingan senjata.
China memainkan peranan penting dengan menempatkan sekitar 27 pos militer di seantero Laut China Selatan.
Beijing pertama kali mengklaim kepemilikan kawasan Fiery Cross Reef dan Subi Reef pada 1988, dan sejak itu terus melengkapinya dengan fasilitas pelabuhan, hangar pesawat, sistem komunikasi, kantor administrasi dan landasan pacu sepanjang total 10.000 kaki (sekitar 3.000 meter).
Advertisement