Sukses

Kekhawatiran Uni Eropa Usai AS Hengkang dari Kesepakatan Nuklir Iran

Parlemen Uni Eropa khawatir akan dampak yang terjadi berikutnya usai Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran.

Liputan6.com, Brussels - Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Uni Eropa, David McAllister mengkhawatirkan dampak yang dapat terjadi berikutnya usai Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran atau yang bernama resmi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 8 Mei 2018.

"Uni Eropa menilai bahwa langkah itu bisa memicu eskalasi tensi dan konflik yang terjadi di Timur Tengah, di mana belakangan ini kawasan tersebut telah semakin memanas," kata McAllister di sela-sela European Union Day di Jakarta, Rabu (9/5/2018).

"Kami khawatir, Iran akan kembali melanjutkan program senjata balistik mereka, semakin meningkatkan peran negatifnya dalam perang di Yaman dan Suriah serta dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon, serta memperburuk tensi Iran - Israel yang akan berdampak bagi stabilitas di Timur Tengah," lanjutnya.

Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerrend menilai bahwa JCPOA merupakan sebuah kesepakatan yang baik (bagi non-proliferasi nuklir) Iran dan justru mampu membawa perdamaian di kawasan Timur Tengah.

"Oleh karenanya, Uni Eropa kecewa dengan langkah AS yang tak lagi berkomitmen terhadap kesepakatan tersebut," kata Guerrend dalam kesempatan yang sama.

"Kami ingin kesepakatan itu tetap berlanjut dan Uni Eropa berkomitmen terhadapnya," lanjutnya.

Termasuk Uni Eropa, empat dari enam penandatangan yang masih berkomitmen pada JCPOA telah mengutarakan kekecewaan atas langkah Trump yang menarik AS keluar dari kesepakatan tersebut.

Kanselir Jerman Angela Merkel, PM Inggris Theresa May, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengeluarkan pernyataan gabungan yang menegaskan bahwa ketiga negara tetap berkomitmen terhadap Kesepakatan Nuklir Iran.

"Bersama, kami (Jerman, Prancis, dan Inggris) tetap akan melanjutkan komitmen kami terhadap JCPOA, yang mana, kesepakatan itu penting bagi keberlangsungan perdamaian di kawasan," jelas pernyataan gabungan dari kepala pemerintahan ketiga negara tersebut.

China dan Rusia belum mengutarakan komentar usai Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari JCPOA pada 8 Mei 2018.

Namun, dalam sebuah pernyataan gabungan dalam Preparatory Committee of the 2020 Non-Proliferation Treaty Review Conference pada 3 Mei 2018, kedua negara menyatakan komitmennya terhadap JCPOA.

JCPOA merupakan pakta kesepakatan yang dibentuk pada 2015 antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Tehran terhadap kesepakatan nuklir Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.

2 dari 2 halaman

AS Mundur

Donald Trump telah memutuskan menarik Amerika Serikat keluar dari kesepakatan nuklir Iran. Presiden ke-45 Amerika Serikat itu pun menegaskan akan kembali memberlakukan sanksi terhadap Teheran.

Berdasarkan kesepakatan nuklir yang ditandatangani Iran dan sejumlah kekuatan dunia, yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, China dan Uni Eropa, Teheran akan mengurangi pengayaan uraniumnya dan berjanji tidak akan mengejar senjata nuklir.

Sebagai ganti kesepakatan nuklir Iran, sanksi internasional terhadap Negeri Para Mullah akan dicabut. Hal itu memungkinkan Iran menjual minyak dan gasnya ke seluruh dunia.

Tim pengawas PBB telah berulang kali menegaskan bahwa Iran mematuhi kesepakatan nuklir tersebut.

Namun, sikap berlawanan ditunjukkan Donald Trump. Menurutnya, kesepakatan nuklir Iran atau yang dikenal pula sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) adalah "perjanjian sepihak yang mengerikan dan seharusnya tidak pernah diwujudkan."

Video Terkini