Sukses

Konferensi Ulama Afghanistan-Indonesia-Pakistan Hasilkan Deklarasi Perdamaian

Konferensi ulama dan cendekiawan dari Afghanistan-Indonesia-Pakistan melahirkan Bogor Ulema Declaration for Peace

Liputan6.com, Bogor - Konferensi ulama dan cendekiawan dari Afghanistan-Indonesia-Pakistan, yang diselenggarakan di Istana Bogor pada 11 Mei 2018, telah ditutup oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.

Perhelatan yang ditujukan untuk membahas upaya perdamaian serta stabilitas di Afghanistan melahirkan sebuah deklarasi bernama Bogor Ulema Declaration for Peace (Deklarasi Para Ulama di Bogor untuk Perdamaian).

Deklarasi itu berisi 11 poin kesepakatan para ulama, yang secara garis besar menyepakati untuk mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan persatuan, menyerukan penghentian kekerasan, ekstremisme, dan terorisme, serta menyegerakan rekonsiliasi antara semua pihak yang terlibat dalam konflik menahun di Afghanistan.

"(Hal itu diperlukan) menimbang, telah banyak saudara saudari kami yang mengalami penderitaan berkepanjangan," kata Ataullah Lodin, delegasi ulama Afghanistan saat membacakan kutipan awal isi dari deklarasi tersebut di Istana Bogor (11/5/2018).

"Kami juga mengutarakan dukungan bagi Afghanistan yang damai dan sejahtera. Kami juga menekankan bahwa ulama memiliki peran penting untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan memberikan dukungan untuk membangun proses-proses menuju perdamaian di Afghanistan," lanjutnya.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (Wapres JK), selaku perwakilan pemerintah Indonesia yang menjadi tuan rumah, menyambut baik deklarasi tersebut -- meski, konferensi itu terlaksana tanpa kehadiran kelompok Taliban, yang digadang-gadang oleh sejumlah pihak sebagai salah satu penyebab konflik dan instabilitas yang terjadi di Afghanistan.

"Tujuan akhir adalah perdamaian antara pemerintah Afghanistan dengan Taliban. Itu tujuan akhirnya. Dan konferensi ini adalah awal untuk mendorong mereka (berbagai pihak dari Afghanistan dan Pakistan, termasuk Taliban) untuk duduk bersama-sama mencapai perdamaian di Afghanistan," kata Wapres JK.

"Tapi ini masih awal. Masih panjang prosesnya -- untuk menuju perdamaian penuh di Afghanistan," lanjutnya.

Hal senada juga diutarakan oleh salah satu ulama anonim Afghanistan yang hadir dalam konferensi tersebut.

"Hasil itu merupakan awalan yang baik, di mana kami bisa duduk dan berdialog bersama dengan ulama Afghanistan dan Pakistan," ujar ulama tersebut.

"Ini tonggal awal yang positif untuk dialog dan negosiasi lebih lanjut. Kami berharap agar proses-proses berikutnya bisa memberikan hasil yang lebih baik," tambahnya.

Konferensi ulama Afghanistan-Indonesia-Pakistan digagas oleh Presiden RI Joko Widodo kala melakukan kunjungan kenegaraan dan bertemu dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani di Kabul pada Januari 2018.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menindaklanjuti gagasan tersebut saat mengunjungi Afghanistan pada Februari 2018 untuk menghadiri Kabul Peace Process yang diinisiasi oleh Presiden Ghani.

Pakistan, yang kerap dituduh komunitas internasional sebagai sekutu Taliban, turut menyambut dan mendukung inisiatif Indonesia menggelar konferensi tripartit tersebut.

Islamabad sendiri membantah menjadi sekutu Taliban, dengan beralasan bahwa penghentian konflik dan perdamaian di Afghanistan merupakan kunci bagi stabilitas domestik Pakistan sendiri.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Meski Taliban Tak Hadir, Indonesia Tetap Optimis

Taliban, yang sampai saat ini masih melakukan gerakan militansi-ekstrem dan mendalangi beragam serangan serta bom bunuh diri di Afghanistan, tak hadir dalam konferensi tersebut.

Meski tak hadir, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengklaim bahwa "Taliban telah memberikan pernyataan yang mendukung konferensi dan perdamaian itu."

Padahal, berbagai pihak, baik pemerintah Afghanistan, Indonesia, dan Pakistan, sangat mengharap kehadiran Taliban dalam konferensi ulama tripartit di Istana Bogor hari ini.

Karena, jika kelompok yang pernah berkuasa di Afghanistan itu hadir, maka, langkah tersebut dapat dianggap sebagai sinyal-sinyal positif yang menunjukkan keterbukaan mereka untuk berdialog menuju perdamaian.

Apalagi, pada Maret 2018 lalu, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani telah menawarkan Taliban untuk melakukan dialog damai dengan pemerintahannya tanpa prasyarat apapun -- sebuah inisiatif positif teranyar dari Kabul sejak negara itu dilanda perang saudara dan gejolak terorisme sepanjang 16 tahun terakhir.

Ghani juga menawarkan sejumlah skema perdamaian antara pemerintah Afghanistan dengan Taliban, meliputi; gencatan senjata, pertukaran tahanan dari kedua belah pihak, dan mendorong Taliban untuk mengakui pemerintahan dan hukum yang berlaku di Afghanistan.

Skema itu juga mencakup tentang kemungkinan dihapusnya nama Taliban dari daftar hitam domestik dan komunitas internasional, serta potensi pengakuan kelompok itu sebagai sebuah organisasi politik resmi yang berkantor dan berkedudukan di Kabul atau wilayah lain di Afghanistan.

"Taliban (juga) diharapkan mampu memberikan masukan pada seluruh proses perdamaian, yang merupakan tujuan keikutsertaan mereka sebagai organisasi dalam dialog damai ini," kata Ghani di hadapan perwakilan 25 negara dan organisasi internasional dalam Kabul Peace Process Maret 2018.

Terlepas dari seluruh perkembangan itu, beberapa pekan lalu, Taliban sendiri telah mengumumkan Al Khandaq atau Spring Offensive -- gerakan militansi yang rutin dilaksanakan kelompok itu pada Musim Semi setiap tahun -- pada Rabu, 25 April 2018.

Menyusul pengumuman itu, beberapa insiden bom bunuh diri masih tetap terjadi di Afghanistan.

Kendati demikian, Wapres JK tetap optimis. "Butuh waktu untuk mencapai perdamaian itu. Negara yang berkonflik itu perlu duduk membicarakan pelaksanaan perdamaian."

"Sekarang tinggal bagaimana Afghanistan, Taliban, Pakistan, dan Indonesia mendorong proses itu. Teknisnya nanti akan dibicarakan," ujar Wapres JK.