Sukses

Menlu RI: Tiongkok Mesti Kooperatif dalam Negosiasi Code of Conduct Laut China Selatan

Menlu RI berharap Tiongkok bersikap kooperatif dalam pembahasan kesepakatan berperilaku antar negara dalam sengketa di Laut China Selatan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi berharap agar Tiongkok bersikap kooperatif dalam proses pembahasan aturan kesepakatan berperilaku antar negara yang terlibat dalam sengketa di Laut China Selatan.

Sikap kooperatif itu, menurut Retno, dianggap mampu berkontribusi dalam mempercepat proses penyelesaian kesepakatan tersebut pada akhir tahun 2018 nanti.

Hal itu disampaikan Retno usai para negara yang terlibat dalam pembahasan kerangka kerja Code of Conduct on South China Sea (CoC-SCS) melaksanakan negosiasi awal pada Maret 2018 lalu.

Negosiasi awal CoC-SCS yang dilaksanakan pada Maret 2018 itu sendiri dilaksanakan empat bulan ketika ASEAN dan Tiongkok menyepakati kerangka kerja tersebut dalam dalam KTT ASEAN di Manila pada November 2017 silam.

Kini, Retno berharap agar negosiasi awal pada Maret 2018 lalu dapat menjadi pondasi positif untuk menyelesaikan CoC-SCS sesegera mungkin. Ia pribadi optimis memproyeksikan bahwa kesepakatan itu dapat rampung pada akhir tahun ini.

"Indonesia berharap, lebih cepat selesai, lebih baik. Karena, dengan rampungnya CoC, kesepakatan itu akan berkontribusi bagi keamanan dan stabilitas di Laut China Selatan," kata Retno dalam sebuah diskusi publik yang dimoderatori pendiri think-tank Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, Senin 14 Mei 2018.

Menlu RI juga berharap agar Tiongkok mampu bersikap kooperatif dalam proses perampungan Code of Conduct. Sikap kooperatif dari China, kata Retno, dianggap dapat berkontribusi mempercepat penyelesaian negosiasi kesepakatan tersebut.

"Kami sungguh berharap bahwa China juga akan bersikap kooperatif dan ikut bekerja sama dalam merampungkan CoC, yang jika memungkinkan akan selesai tahun (2018) ini," kata Retno.

"Tapi, Anda tahu bagaimana negosiasi terjadi, dan pada satu titik, hal itu bisa berlangsung sulit. Meski demikian, rasa percaya harus tetap dibangun terus menerus. Karena tanpa kepercayaan, negosiasi tidak bisa dilakukan," tambahnya.

Oleh karenanya, Retno juga mengimbau agar "Seluruh pihak mencegah aktivitas yang mungkin bisa membahayakan proses negosiasi CoC."

Citra satelit yang menunjukkan pangkalan militer Tiongkok di Laut China Selatan (sumber:CSIS)

Komentar itu juga datang beberapa pekan setelah berbagai laporan yang muncul menyebutkan, Tiongkok meningkatkan eskalasi militerisasi di Laut China Selatan.

Eskalasi militerisasi yang dilakukan China adalah dengan memasang sistem rudal serta perangkat pengganggu sinyal penerbangan dan pelayaran di gugus kepulauan reklamasi Spratly, dekat Vietnam dan Filipina.

Langkah militerisasi China telah lama dikecam oleh berbagai pihak, terutama negara-negara Asia Tenggara yang terlibat langsung dalam sengketa kawasan maritim tersebut. Negara-negara itu meliputi, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Taiwan, negara non-Asia Tenggara yang turut terlibat dinamika sengketa, juga ikut mengecam.

Indonesia, meski tidak terlibat langsung dalam dinamika persengketaan, mengimbau negara-negara tersebut untuk menahan diri dan mencegah eskalasi tensi di kawasan laut tersebut.

Amerika Serikat, yang beberapa kurun waktu terakhir meningkatkan perhatiannya pada kawasan tersebut, turut mengimbau agar Tiongkok menghentikan militerisasinya di Laut China Selatan.

"Kami sangat menyadari militerisasi Tiongkok di Laut China Selatan. (Menyikapi hal itu) Akan ada konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang (dari AS)," kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Sarah Huckabee Sanders Mei 2018.

Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) juga telah memahami laporan seputar perkembangan terbaru di Laut China Selatan.

"Kami sangat prihatin atas langkah mereka (China) yang melakukan militerisasi di pulau-pulau buatan itu," kata Juru Bicara Pentagon, Dana White.

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Eskalasi Militerisasi China

Media AS, CNBC pertama kali melaporkan, Negeri Tirai Bambu secara diam-diam memasang rudal jelajah anti-kapal dan sistem rudal permukaan-ke-udara (surface-to-air) di tiga pos militernya di Laut China Selatan, menurut seorang pejabat intelijen AS anonim yang memahami betul isu itu pada Mei 2018.

Langkah itu memungkinkan Beijing untuk memproyeksikan lebih lanjut kekuatannya di perairan sengketa tersebut.

Pengkajian intelijen mengatakan bahwa sistem rudal itu dikerahkan di Kepulauan Spratly di bagian Fiery Cross Reef, Subi Reef dan Mischief Reef dalam 30 hari terakhir, lanjut si narasumber.

Penempatan senjata itu juga datang beberapa pekan usai Angkatan Laut AS melaporkan bahwa China telah memasang instalasi pengacak dan pengganggu radar serta komunikasi di kawasan yang sama.

Salah satu sumber laporan itu berasal dari personel Kapal Induk AS USS Theodore Roosevelt yang berlayar di Filipina, dekat kawasan Laut China Selatan pertengahan April lalu.

"Ketika sampai di sana, beberapa peralatan elektronik kami tidak berfungsi semestinya. Fakta itu mengindikasikan bahwa ada pihak yang ingin mengacak sinyal kami. Dan kami punya jawaban siapa yag melakukannya -- China," ujar salah seorang perwira di USS Theodore Roosevelt, seperti dilansir Business Insider Singapore, April 2018.

Kepulauan Spratly di Laut China Selatan yang diklaim oleh enam negara, terletak kira-kira dua pertiga dari arah timur dari Vietnam selatan dan Filipina selatan.