Sukses

Kecam Serangan Israel ke Palestina di Gaza, Protes Global Terus Bermunculan

Ada anggapan bahwa siapa pun yang mendekati pagar perbatasan Gaza, kemungkinan akan dibunuh oleh tentara Israel.

Liputan6.com, Gaza - Kecaman internasional terus bermunculan, mengutuk serangan Israel terhadap rakyat Palestina di perbatasan Gaza, yang menewaskan setidaknya 60 orang.

Serangan itu terjadi pada Senin, 14 Mei 2018, selama aksi protes rakyat Palestina di pagar perbatasan Gaza, yang bertepatan dengan upacara resmi pemindahan kedutaan Amerika Serikat (AS) dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Dikutip dari The Guardian pada Rabu (16/5/2018), aksi protes tersebut kembali berlanjut ketika puluhan ribu orang mendesak akses ke wilayah pesisir, untuk menguburkan para korban kerusuhan yang tewas.

Perdana Menteri Inggris, Theresa May, termasuk di antara mereka yang mengutuk keras serangan tersebut pada Selasa, 15 Mei 2018. Seorang juru bicara mengatakan, PM Theresa "sangat terganggu" oleh penggunaan senjata api oleh militer Israel dan "skala kekerasan" yang sangat tidak bertanggung jawab.  

Kecaman serupa juga disampaikan oleh para pejabat senior PBB, yang mengutuk serangan tersebut sebagai "pelanggaran hak asasi manusia yang keterlaluan", dan mengatakan tampaknya siapa pun yang mendekati pagar perbatasan Gaza, kemungkinan akan dibunuh oleh tentara Israel.

Sementara Irlandia menarik duta besarnya di Israel, sebagai bentuk protes langsung terhadap jatuhnya puluhan korban jiwa. Tindakan serupa juga dilakukan oleh pemerintah China dan Rusia, yang meminta penjelasan dari utusan diplomatik Israel di masing-masing negara.

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengatakan dia mengutuk aksi "kekerasan pasukan bersenjata Israel terhadap pengunjuk rasa". Hal itu disampaikan melalui panggilan telepon dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Raja Abdullah II dari Yordania.

Macron menegaskan kembali kritiknya terhadap keputusan AS untuk memindahkan kedutaan ke Yerusalem.

Di tempat terpisah, komisioner tinggi PBB untuk hak asasi manusia, Zeid Ra'ad al-Hussein, mengatakan: "Mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang keterlaluan harus dimintai pertanggungjawaban."

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga turut menimpali bahwa skala penanganan medis akan terus bertambah, tetapi fasilitas kesehatan di Gaza memburuk pasca-kepungan militer Israel.

Mengutip jumlah korban peristiwa tersebut dari Kementerian Kesehatan Gaza dan sekelompok lembaga bantuan, seorang pejabat WHO, Mahmoud Daher, mengatakan kepada Associated Press bahwa tercatat ada 2.771 orang terluka selama kerusuhan Senin 14 Mei.

Dari jumlah tersebut, setidaknya 1.360 orang terluka oleh tembakan senjata api, 400 orang cedera terkena pecahan peluru, dan 980 orang lainnya mengalami inhalasi gas.

Dia mengatakan sebagian besar dari mereka yang terluka oleh senjata api militer Israel, mengalami luka parah di bagian kaki.

 

Simak video pilihan berikut:

2 dari 2 halaman

Protes di Gaza Akan Terus Berlanjut

Ketika penguburan para korban tewas berlangsung pada Selasa, 15 Mei, seorang pejabat senior Hamas, Khalil al-Hayya, bersumpah bahwa protes di Gaza akan terus berlanjut.

Sementara di Tepi Barat, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, mengumumkan serangan umum, sehari setelah Israel melakukan "pembantaian".

Banyak pemberitaan global menempatkan laporan kisruh tersebut, berdampingan dengan upacara peresmian Kedutaan Besar AS di Yerusaelm.

Putri Presiden Donald Trump, Ivanka Trump, dan sang suami, Jared Kushner, disebut merayakan peresmian tersebut dengan sambutan tepuk tangan dan sorak-sorai oleh para tamu undangan.

Banyak pengamat menyebut langkah kontroversial yang diambil oleh AS, dan kerusuhan berdarah yang menyertainya, berisiko merusak status Washington sebagai mediator perdamaian di Timur Tengah. Selain itu, Negeri Paman Sam juga diingatkan tentang konsekuensi yang tidak diprediksi akibat pemindahan kantor diplomatiknya tersebut.

"Secara tradisional, kami mencoba memainkan peran 'petugas pemadam kebakaran' di Timur Tengah. Sekarang kami memainkan peran sebagai pelaku pembakaran," kata Ilan Goldenberg, mantan tokoh senior Kemenlu AS sekaligus pejabat Pentagon, yang kini menjalankan program Timur Tengah di Pusat Keamanan Baru Amerika.