Sukses

Diduga Dukung Terorisme, Bank Sentral Iran Dijatuhi Sanksi AS

Gubernur Bank Sentral Iran dituduh membantu menyalurkan jutaan dolar AS atas nama Pasukan Quds, untuk mendukung Hizbullah.

Liputan6.com, Teheran - Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS, baru saja mengumumkan sanksi terhadap Gubernur Bank Sentral Iran, Valiollah Seif, dan Asisten Direktur Departemen Internasional, Ali Tarzali.

Dikutip dari South China Morning Post pada Rabu (16/5/2018), pemerintah Amerika Serikat menjuluki keduanya sebagai "teroris global yang ditunjuk secara khusus", karena diduga membantu Pasukan Penjaga Revolusi Islam Iran-Quds untuk mendukung Hizbullah.

Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menuduh Seif membantu menyalurkan jutaan dolar AS atas nama Pasukan Quds, untuk mendukung Hizbullah.

"Ini mengejutkan, tetapi tidak mengherankan, bahwa pejabat perbankan senior Iran berkomplot dengan IRGC-QF untuk memfasilitasi pendanaan kelompok teror seperti Hizbullah, dan itu merusak kredibilitas sekaligus integritas lembaga Bank Sentral," kata Mnuchin dalam sebuah pernyataan.

"Amerika Serikat tidak akan mengizinkan penyalahgunaan sistem keuangan internasional Iran yang semakin kurang ajar," lanjutnya menegaskan.

Sebelumnya, pada Kamis, 3 Mei 2018, pemerintah AS telah lebih dulu menjatuhkan sanksi kepada sembilan warga dan perusahaan Iran, karena diduga mengoperasikan jaringan pertukaran mata uang -- yang dengan bantuan bank sentral Iran-- mentransfer jutaan dolar AS atas nama Pasukan Quds.

Tindakan itu terjadi seminggu setelah Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, dan memberlakukan kembali sanksi yang ada sebelum perjanjian tahun 2015.

Selanjutnya, mulai 7 Agustus mendatang, Negeri Paman Sam akan menjatuhkan sanksi pada pembelian atau akuisisi uang kertas dolar AS oleh pemerintah Iran.

Di sisi lain, Seif ternyata juga tengah diserang oleh pemerintahan dalam negeri Iran.

Setengah dari anggota parlemen Iran telah menulis surat kepada Presiden Hassan Rouhani, menuntut pemecatan kepala bank sentral, karena dituduh telah salah mengelola industri perbankan dan pasar mata uang, sehingga membuat nilai tukar rial terus melemah.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

2 dari 2 halaman

Uni Eropa Kecewa dengan Langkah AS

Sementara itu, Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Uni Eropa, David McAllister mengkhawatirkan dampak yang dapat terjadi berikutnya, usai Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran,atau yang bernama resmi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 8 Mei 2018.

"Uni Eropa menilai bahwa langkah itu bisa memicu eskalasi tensi dan konflik yang terjadi di Timur Tengah, di mana belakangan ini pun kawasan tersebut telah semakin memanas," kata McAllister di sela-sela European Union Day di Jakarta, pekan lalu.

"Kami khawatir, Iran akan kembali melanjutkan program senjata balistik mereka, semakin meningkatkan peran negatifnya dalam perang di Yaman dan Suriah serta dukungannya terhadap Hizbullah di Lebanon, serta memperburuk tensi Iran - Israel yang akan berdampak bagi stabilitas di Timur Tengah," lanjutnya.

Sementara itu, Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Guerrend menilai bahwa JCPOA merupakan sebuah kesepakatan yang baik (bagi non-proliferasi nuklir) Iran dan justru mampu membawa perdamaian di kawasan Timur Tengah.

"Oleh karenanya, Uni Eropa kecewa dengan langkah AS yang tak lagi berkomitmen terhadap kesepakatan tersebut," kata Guerrend dalam kesempatan yang sama.

"Kami ingin kesepakatan itu tetap berlanjut dan Uni Eropa berkomitmen terhadapnya," lanjutnya.

Termasuk Uni Eropa, empat dari enam penandatangan yang masih berkomitmen pada JCPOA telah mengutarakan kekecewaan atas langkah Trump yang menarik AS keluar dari kesepakatan tersebut.