Sukses

Sapi Ternak Kloning Pertama di Dunia Mati

Sapi kloning pertama di dunia mati pada usia 19 tahun dan 10 bulan.

Liputan6.com, Tokyo - Sapi pertama di dunia yang dikloning -- dari sel-sel somatik sapi dewasa -- mati pada usia 19 tahun dan 10 bulan. Demikian menurut pemerintah Prefektur Ishikawa di Jepang.

Seperti dikutip dari Asia One, Kamis (17/5/2018), sapi yang diberi nama Noto itu dikloning pada tahun 1998 dan menarik perhatian dunia.

Harapan hidup rata-rata seekor sapi sekitar 20 tahun, dan Noto diyakini telah mati karena usia tua.

Pemerintah prefektur mengatakan, Noto ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah lumbung pada 4 Mei, kemudian kondisinya membaik dan diberi suplemen nutrisi serta perawatan lainnya. Namun, pernapasannya mengalami masalah pada Senin, 7 Mei dan mati pada pukul 15.58 hari itu.

Dalam sebuah proyek penelitian bersama antara Kindai University dan pemerintah prefektur, Noto diciptakan dengan mengambil sel somatik dari tuba fallopi sapi, lalu ditransplantasikan inti sel somatik yang dimasukkan ke dalam telur yang tidak dibuahi.

Karena sapi yang dikloning dari sapi dewasa mewarisi karakteristik genetik yang hampir sama dengan sapi aslinya, maka muncul harapan untuk produksi hewan itu secara massal. Dengan daging berkualitas tinggi atau yang dapat menghasilkan banyak susu.

Namun, Departemen Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan telah meminta para petani untuk tidak mengirimkan daging sapi tersebut karena khawatir akan keamanan daging hasil kloning. Oleh sebab itu, ternak kloning tidak didistribusikan di pasar domestik.

 

 

Saksikan juga video berikut ini:

2 dari 2 halaman

Monyet Kloning

Sementara itu, beberapa bulan lalu dua ekor monyet di China berhasil dilahirkan melalui proses kloning oleh ilmuwan di sebuah laboratorium di Institut Ilmu Neuro di Shanghai.

Dilansir dari laman BBC pada Kamis, 25 Januari 2018, keberhasilan kloning tersebut menggunakan pengembangan terbaru teknik yang dulu pernah diterapkan pada eksperimen domba Dolly, tahun 1996 silam.

Sepasang monyet ekor panjang kembar identik itu diberi nama Zhong Zhong dan Hua Hua. Kehadiran keduanya disebut bertujuan untuk kepentingan penelitian, yakni tentang sistem kekebalan tubuh dan solusi pengobatan terhadap beragam penyakit yang mengancam kehidupan manusia.

"Keberhasilan kloning ini bisa menjadi model dasar untuk mempelajari penyakit dengan basis genetik, termasuk beberapa penyakit kanker," jelas Qiang Sun, salah satu peneliti yang terlibat dalam proyek terkait.

Zhong Zhong lahir delapan minggu lalu, dan Hua Hua lahir dua minggu setelahnya. Penamaan keduanya merujuk pada frasa Mandarin, yang berarti "bangsa dan rakyat China".

Saat ini, kedua monyet tersebut masih terus diberi asupan makanan melalui susu botol, dan disebut menunjukkan pertumbuhan yang normal.

Para ilmuwan terkait berharap, akan lebih banyak kera hasil kloning dilahirkan dalam beberapa bulan mendatang.

Profesor Robin Lovell-Badge dari The Francis Crick Institute, London, berpendapat bahwa teknik kloning yang dilakukan pada Zhong Zhong dan Hua Hua meninggalkan catatan prosedur yang "sangat tidak efisien dan berbahaya".

"Bukti ilmiah penelitian ini bukanlah batu loncatan untuk menetapkan metode kloning pada manusia," dia menjelaskan.

Pendapat bernada serupa juga dilontarkan oleh Profesor Darren Griffin dari Universitas Kent, Inggris, bahwa penelitian tersebut mungkin berguna untuk memahami penyakit yang menyerang manusia, tetapi berisiko menimbulkan persoalan etika.

"Pertimbangan yang saksama perlu diterapkan pada kerangka etis percoba ilmiah semacam ini," sarannya.