Sukses

Perdana Menteri Prancis Mendadak Batalkan Kunjungan ke Israel

PM Prancis Edouard Philippe dijadwalkan akan berkunjung ke Israel pada 1 Juni 2018.

Liputan6.com, Paris - Perdana Menteri Prancis Edouard Philippe membatalkan kunjungannya ke Israel. Pemicunya adalah masalah domestik.

Dikutip dari laman Aawsat.com, Jumat (25/5/2018), PM Philippe sebelumnya dijadwalkan terbang ke Yerusalem pada 1 Juni 2018 untuk menghadiri sebuah acara yang bertujuan mempromosikan hubungan Prancis dan Israel.

Kedatangan PM Philippe rencananya akan disambut langsung oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Philippe dijadwalkan melakukan perjalanan ke Tel Aviv dan Tepi Barat.

Dari keterangan orang dekat Philippe, agenda reformasi pemerintah Prancis dan ancaman demo pada Juni 2018 adalah faktor utama pembatalan kunjungan tersebut.

Pembatalan lawatan Philippe ke Israel terjadi di tengah situasi Timur Tengah yang kembali bergejolak.

Prancis adalah salah satu negara yang mengutuk serentetan pertumpahan darah di sepanjang perbatasan Gaza -- tempat di mana pasukan Israel menewaskan lebih dari 100 pengunjuk rasa Palestina dalam beberapa pekan terakhir.

Adapun, Presiden Prancis Emmanuel Macron dijadwalkan bertolak ke St. Petersburg untuk melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Dukungan Putin merupakan kunci untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran hingga memastikan pasokan gas Eropa stabil.

Bisnis menjadi agenda penting kunjungan dua hari Macron ke Negeri Beruang Merah. Kunjungan Macron bertepatan dengan pelaksanaan St. Petersburg International Economic Forum 2018.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 2 halaman

Prancis Tetap Berkomitmen pada Kesepakatan Nuklir Iran

Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, mengatakan bahwa Kesepakatan Nuklir Iran 'tidak mati'.

Berbicara kepada radio RTL, Le Drian mengatakan bahwa, "Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Iran Hassan Rouhani akan berbicara pada hari Rabu (9/5), dan bahwa para menteri luar negeri Prancis, Inggris dan Jerman akan membicarakan keadaan dengan para pejabat Iran hari Senin pekan depan." Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia.

Rangkaian pertemuan itu dipandang sebagai upaya Prancis untuk menunjukkan konsistensi komitmennya terhadap Iran atas kesepakatan yang bernama resmi Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Hal senada juga telah diutarakan oleh pemimpin Prancis, Inggris, dan Jerman -- yang mana ketiga negara itu merupakan penandatangan JCPOA.

Kanselir Jerman Angela Merkel, PM Inggris Theresa May, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengeluarkan pernyataan gabungan yang menegaskan bahwa ketiga negara tetap berkomitmen terhadap Kesepakatan Nuklir Iran.

"Bersama, kami (Jerman, Prancis, dan Inggris) tetap akan melanjutkan komitmen kami terhadap JCPOA, yang mana, kesepakatan itu penting bagi keberlangsungan perdamaian di kawasan," jelas pernyataan gabungan tersebut.

Di sisi lain, Presiden Donald Trump, mengemukakan bahwa kesepakatan tersebut "tidak akan pernah membawa perdamaian", ujarnya kala mengumumkan penarikan diri AS dari JCPOA.

Trump juga mengatakan, bahwa 'bertahan pada JCPOA tidak akan mencegah Iran untuk menghentikan program pengembangan rudal nuklirnya'.

Iran sendiri telah berkali-kali membantah tuduhan yang dikemukakan oleh Trump. Bantahan itu juga turut didukung oleh laporan badan pengawas nuklir internasional atau IAEA yang menyimpulkan bahwa Tehran 'senantiasa mematuhi JCPOA sejak kesepakatan itu diberlakukan'.

Sementara itu, Menlu Le Drian mengemukakan, jika sekiranya AS masih khawatir terhadap keberlanjutan program senjata nuklir Iran, kekhawatiran itu sepatutnya tetap dibahas dalam koridor mekanisme JCPOA.

"Bicarakan dengan Iran tentang program senjata mereka. Bahas semua kemungkinan untuk merespons hal tersebut. Tapi mari, lakukan semua itu dengan tetap bertahan dalam koridor kesepakatan (JCPOA)," kata Le Drian kepada radio RTL seperti dikutip dari CNN.

JCPOA merupakan pakta kesepakatan antara Iran dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (China, Prancis, Rusia, Inggris, AS) plus Jerman dan Uni Eropa.

Menurut pakta itu, Iran dituntut untuk mengurangi stok uranium (bahan baku pembuat nuklir) hingga 98 persen dan berhenti menjalankan program pengembangan senjata nuklir. Kepatuhan Tehran terhadap Kesepakatan Nuklir Iran akan ditukar dengan pencabutan sanksi dari para negara penandatangan.