Sukses

Penyelidik: Rudal yang Hantam Malaysia Airlines MH17 Milik Militer Rusia

Tim penyelidik mengonfirmasi bahwa rudal yang menjatuhkan MH17 merupakan milik militer Rusia.

Liputan6.com, The Hague - Rudal yang menjatuhkan pesawat Malaysia Airlines MH17 di sebelah timur Ukraina dan menewaskan 298 orang penumpang plus awak pada tahun 2014 merupakan milik militer Rusia. Konfirmasi tersebut disampaikan oleh tim penyelidik internasional pada Kamis, 24 Mei 2018.

Untuk pertama kalinya, tim penyelidik yang dipimpin Belanda mengonfirmasi bahwa rudal itu berasal dari brigade militer Rusia yang bermarkas di kota Kursk. Demikian seperti dikutip dari BBC (24/5/2018).

Penyelidik menambahkan, pesawat rute Amsterdam - Kuala Lumpur itu jatuh akibat rudal BUK yang ditembakkan dari wilayah yang dikuasai pemberontak pro-Rusia di Ukraina.

"Semua kendaraan dalam konvoi yang membawa rudal itu adalah bagian dari pasukan bersenjata Rusia," kata Wilbert Paulissen, seorang pejabat Belanda dari Tim Investigasi Gabungan (JIT), dalam konferensi pers di The Hague, Kamis 24 Mei 2018.

Paulissen menambahkan bahwa tim penyelidik berhasil melacak konvoi itu, yang ternyata berasal dari Brigade ke-53 Angkatan Bersenjata Rusia.

Lebih lanjut, Paulissen mengatakan bahwa bukti-bukti itu "legal dan meyakinkan bisa digunakan dalam persidangan".

 

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Rusia Membantah

Di sisi lain, Rusia sejak lama membantah mendalangi tragedi MH17.

Dalam sebuah tanggapan terbaru, juru bicara pemerintah Rusia, Dmitry Peskov mengatakan kepada BBC, "Kami tidak dapat menerima bahwa apa yang mereka katakan merupakan sebuah kebenaran akhir. Saya yakin Anda belum melihat bukti apa pun."

Insiden itu terjadi di puncak konflik antara pasukan pemerintah Ukraina dan kelompok separatis pro-Rusia yang didukung Moskow.

Sebelumnya, tepatnya pada Oktober 2015, Dewan Keselamatan Belanda telah menegaskan bahwa pesawat Malaysia Airlines MH17 dihantam oleh rudal BUK buatan Rusia.

Lalu pada September 2016, JIT -- yang mencakup pejabat dari Belanda, Australia, Belgia, Malaysia, dan Ukraina -- mencapai kesimpulan serupa dalam laporan awalnya.