Liputan6.com, Amsterdam - Koridor gelap menyambut di balik pintu, diikuti ruang-ruang kecil temaram yang memajang alat-alat penyiksaan dan gambaran eksekusi mati menyeramkan pada masa lalu.
Lantai kayu yang berderit kriet...kriet menambah kesan horor di Torture Museum, Amsterdam, Belanda.
Semburat cahaya berwarna-warni; merah, kuning, biru menyorot ke sejumlah instrumen eksekusi. Ada ambin penuh jarum maupun kursi "Inquisition Chair" dengan besi-besi yang mencuat tajam.
Advertisement
Juga ada Skullcracker, The Saw, Garotte, Thumb Screw, Judas Cradle, dan The Rack -- alat-alat penyiksaan yang terlalu sadis untuk diungkapkan bagaimana cara kerjanya.
Baca Juga
Guillotine, jenis alat eksekusi yang menyudahi nyawa Raja Prancis Louis XVI dan Ratu Marie Antoinette pada 1793, ikut dipajang.
Tak banyak yang tahu, penggunaan guillotine dalam eksekusi mati di Prancis secara resmi baru dihapus pada 1981. Sejarah mencatat, pria asal Tunisia, Hamida Djandoubi menjadi orang terakhir yang dihukum mati dengan pisau raksasa itu. Ia dieksekusi pada 10 September 1977.
Ada sekitar 40 alat eksekusi yang dipamerkan di Torture Museum, lengkap dengan ilustrasi penggunaannya dan informasi latar belakang sejarah dalam delapan bahasa, termasuk Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan Spanyol.
Namun, tak gampang untuk membaca brosur-brosur yang dipajang dengan pencahayaan yang temaram. Hurufnya pun kecil-kecil. Sementara, tak ada perlengkapan audio maupun video di dalam museum -- bahkan tiada musik pengiring sekalipun.
Karena tempatnya yang kecil dan jumlah objek yang dipamerkan terbatas, durasi kunjungan ke Torture Museum berlangsung relatif singkat, hanya dalam hitungan menit. Kecuali, jika pengunjung berniat memerhatikan secara rinci satu demi satu alat penyiksaan yang dipajang.
Pencahayaan yang buruk di dalam museum mengaburkan kondisi sejumlah alat yang kian berkarat.
"Tak semua alat yang dipajang asli, hanya replika. Hanya yang di kotak kaca yang sungguhan," kata Gerry, staf penjualan tiket museum.
Pantauan Liputan6.com, tak ada keterangan soal keaslian alat-alat eksekusi tersebut di dalam museum maupun di situs resmi Torture Museum. Jadi, tak jelas mana yang asli maupun replika.
Pria keturunan Suriname itu menambahkan, tak hanya orang dewasa yang jadi pengunjung museum, tapi juga anak-anak -- meski, apa yang dipamerkan di sana terlalu kejam untuk para bocah.
"Tak sedikit anak-anak yang datang, bahkan pada malam hari," kata Gerry.
Torture Museum, yang terletak di seberang Flower Market, di dekat Kalverstraat, buka dari pukul 10.00 hingga 23.00 waktu Amsterdam. Harga tiket masuk museum untuk dewasa dibanderol 7,5 euro, sementara untuk anak-anak 4 euro.
Penasaran dengan penampakan Torture Museum Amsterdam? Saksikan videonya di bawah ini.
Â
Cara ke Museum Tanpa Antre
Jaringan kanal yang membelah kota, bangunan-bangunan tua yang menyimpan sejarah panjang, trem yang malang melintang di jalanan, sepeda-sepeda yang mendominasi sistem transportasi -- Amsterdam adalah destinasi yang unik.
Selain tur menyusuri kanal, museum juga menjadi destinasi favorit para wisatawan.
Ada sekitar 75 museum di ibu kota Belanda itu, yang mampu menarik sekitar 7 juta pengunjung tiap tahunnya.
Torture Museum masuk dalam kategori "museum kecil". Demikian pula dengan museum yang menyandang kata "sex, erotic", maupun "hash"Â pada namanya.
Di sisi lain, Rijksmuseum, Van Gogh Museum, Anne Frank House, dan Stedelijk Museum menjadi pilihan teratas bagi para wisatawan.
Namun, saking populernya, antrean pengunjung kerap mengular di museum-museum tersebut. Jaime de Silva, Senior Public Manager APAC-Booking.com mengatakan, ada cara bagi wisatawan untuk memangkas panjangnya antrean.
Yakni, dengan memanfaatkan Booking Experiences yang ada dalam aplikasi Booking.com. Fasilitas tersebut bisa dimanfaatkan setelah wisatawan memesan hotel atau akomodasi lewat situs tersebut.
"Misalnya di Anne Frank House, antrean di sana bahkan bisa sampai 3 jam," kata de Silva.
Booking.com Experiences memungkinkan para wisatawan untuk memesan apa pun yang mereka butuhkan saat liburan di satu tempat, dari tiket museum hingga tur jalan kaki (walking tours).
Cara kerjanya, setelah memesan akomodasi di Booking.com, pengguna bisa membuka pilihan wisata dan atraksi lokal dengan diskon khusus atau manfaat tambahan seperti melewati antrean.
Pengguna bisa memindai kode QR (QR code) yang ditautkan pada kartu kredit, yang bisa digunakan di destinasi wisata pilihan.
Cara seperti itu bisa menghindarkan wisatawan dari risiko uang hilang dari tiket yang sudah dibayar terlebih dahulu namun tak sempat digunakan pada tanggal yang telah ditentukan.
Advertisement